Cicilan Menyapa Tiap Pagi
Pagi-pagi ada yang mengetuk pintu.
Bukan tukang koran,
bukan penjual sayur,
tapi cicilan yang baru datang.
Katanya aku harus menulis namaku,
di atas garis tipis antara utang dan kebutuhan.
Aku angguk, meski tanganku bergetar.
Kartu kredit tersenyum,
memberiku secangkir kopi mahal.
Paylater menepuk pundakku:
"Ayo, satu bulan lagi. Hanya sedikit bunga."
Sore tiba,
penghasilan menggulung seperti ombak,
menyapu janji tabungan yang aku buat di hari Senin.
Malam datang,
aku menghitung cicilan seperti bintang di langit,
terlalu banyak dan terlalu jauh untuk dijangkau.
Aku terjebak dalam lingkaran:
antara keinginan dan kebutuhan,
antara 0% bunga dan biaya yang tersembunyi,
antara motor baru yang bersinar
dan anggaran yang perlahan memudar.
Sampai kapan?
kataku pada cicilan yang mengetuk pintu lagi.
Tapi pagi-pagi,
sebelum kopi siap,
cicilan itu datang lagi,
dengan senyum yang tak pernah lelah.
Dan aku,
aku menandatangani namaku lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H