Ekonomi Lesu di Negeri 5 Persen
Di warung kopi yang sepi,
pedagang menghitung mimpi yang tergerus harga rokok,
sabun, mie instan—barang-barang yang dulu
tak pernah tunduk pada badai.
Kini mereka pun ragu,
apakah esok masih bisa dijual?
Atau hanya dihitung seperti tabungan yang terus menyusut,
dari tiga juta ke satu koma delapan.
Laporan di layar kaca bersuara lantang:
“Ekonomi tumbuh 5,05 persen!”
Tapi di kantong celana buruh,
tak ada yang tumbuh selain keringat dan utang.
Di sudut Jakarta,
pengangguran naik seribu persen.
Bangka Belitung, lebih tinggi lagi—
angka-angka seperti permainan,
tapi tangan yang menulisnya gemetar.
Bansos datang tanpa suara,
menetes di jalanan kampung,
tak sampai pada kelas menengah
yang tengah kehilangan pijakan.
Mereka berdiri di tepi jurang,
tak cukup miskin untuk bantuan,
tak cukup kaya untuk bertahan.
Mobil tak lagi dibeli,
rumah-rumah kosong dari motor baru,
sepi di showroom,
lebih sepi di hati mereka yang biasa
mengukur kebahagiaan dari bunyi mesin.
Dan angka inflasi di Amerika seperti kabar burung,
kapan suku bunga turun?
Kapan para pengusaha berani pinjam modal
untuk hidupkan pabrik yang mati suri?
Entahlah. Semua menunggu,
seperti menunggu hujan yang tak kunjung turun,
di tengah musim panas politik yang panjang.
Tetapi di antara semua itu,
kita masih menumbuhkan harapan kecil
di sela layar ponsel,
di antara gigitan anggaran dan cicilan.
Mencari-cari celah di zaman yang berubah,
belajar lagi cara bertahan,
karena yang tak mau berubah,
akan perlahan tenggelam
di arus yang tak lagi ramah.
Dan di sudut warung kopi,
kita bertanya lagi:
apa yang tumbuh
ketika semua terlihat
terus menyusut?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H