Negara dan Utang
Negara utang sebesar 8.500 triliun,
lalu bunga utangnya 550 triliun.
Rakyat menghitung-hitung
apa yang tersisa di piringnya,
sebelum pajak mengetuk pintu rumah,
sebelum mesin pintar menggantikan harapan.
"Utang itu untuk infrastruktur,"
kata pemerintah.
"Untuk pandemi, untuk kesehatan,"
kata mereka lagi,
sementara kelas menengah
mengatur napas di sela tagihan-tagihan yang tiba.
Presiden tersenyum di pidato kenegaraan,
mengatakan rasio utang kita aman.
Rasio itu seperti angka yang menari di layar,
tidak pernah lelah, selalu rapi,
38 persen dari PDB, katanya,
terendah di ASEAN,
terbaik di G20.
Di pasar, suara rakyat samar-samar:
"Apakah kita masih aman?"
"Apakah kita harus khawatir?"
Utang seperti jaring laba-laba,
tak kasat mata, tapi selalu ada,
membentang di setiap pojok hidup kita.
Tapi, siapa yang peduli dengan utang
jika separuh pajak sudah dipakai
untuk membayar bunga?
Rakyat diam, meski di dalamnya bertanya:
"Untuk siapa sebenarnya utang ini?"
Negara utang untuk rakyat,
rakyat berutang untuk bertahan.
Dalam hitungan yang tak pernah usai,
kita hanyalah angka-angka kecil
di antara miliar-miliar lainnya,
berharap suatu saat,
utang itu berubah menjadi kesejahteraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H