Sisi Gelap Kekayaan
Kekayaan, seperti cahaya, menyilaukan mata
tapi bayang-bayangnya
terkadang terlalu panjang
mengikuti langkahku,
mengaburkan siapa aku,
mengubah kesan pertama
jadi angka di rekening,
bukan tangan yang terulur.
Setiap pertemuan dimulai
dengan senyum yang terjaga,
sorot mata bertanya,
"Seberapa kaya kamu?"
Bukan "Apa kabar?" atau "Siapa dirimu?"
Aku berjalan di antara orang-orang,
terlihat tapi tak pernah benar-benar dilihat.
Orang-orang mendekat,
menggenggam tangan,
menghitung, bukan merasakan.
Aku jadi angka,
bukan nama,
jadi dompet,
bukan cerita.
Kebebasan katanya,
datang dengan uang.
Tapi semakin banyak,
semakin hilang ruang
untuk sekadar bernapas tanpa ditatap,
untuk bicara tanpa dicatat.
Aku duduk di kafe,
bukan untuk minum kopi,
tapi untuk dilihat.
Aku berjalan di taman,
bukan untuk menikmati senja,
tapi untuk diambil fotonya.
"Bukankah kamu kaya?"
katanya, sambil berharap,
aku lupa bagaimana rasanya
tidak dijadikan mimpi orang lain.
Aku kaya, tapi tidak bebas,
kaya tapi tak punya waktu,
kaya tapi sering kehilangan diriku sendiri.
Dan di balik semua kemewahan ini,
ada keheningan yang tak bisa kujelaskan,
seperti rindu pada hal-hal sederhana
yang dulu kuanggap tak berharga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H