Perlombaan Tikus
Di tengah gemerlap kota
aku berlari, berlari,
mencari apa yang lebih,
lebih besar, lebih baik, lebih...
Tapi selalu ada yang kurang,
selalu ada yang hilang.
Kudengar suara di sudut hati,
"Apakah hidup ini hanya bekerja?"
Aku terjebak, terikat,
dalam perlombaan tak berujung
mengejar kebahagiaan yang tak pernah sampai.
Kupandangi hidup yang kian cepat,
jalan-jalan yang penuh dopamin murah,
menelusuri jejak yang tak kukenal,
hanya untuk merasa cukup,
hanya untuk merasa... tidak.
Mungkin kita adalah orang-orang
yang terus mengejar bayang-bayang,
berpikir bahwa dunia adalah perlombaan,
dan hidup adalah kotak-kotak
yang harus dicentang, satu per satu.
Tapi kini aku berdiri,
di tengah hiruk-pikuk,
menatap langit yang tenang,
dan bertanya pada angin,
"Apakah aku hidup hanya untuk bekerja?"
Kuputuskan untuk berjalan,
meninggalkan kota yang terburu-buru,
menurunkan langkah, menurunkan harap,
mencari hidup yang lebih sederhana,
di mana kebebasan adalah hadiah,
dan waktu adalah teman.
Dalam setiap jejak yang kutinggalkan,
ada rasa syukur yang mengalir,
mengganti kekosongan dengan makna,
dan dalam keheningan malam,
aku menemukan diriku kembali,
tidak dalam perlombaan,
tapi dalam damai yang perlahan tumbuh,
di antara lembar-lembar hidup yang kubaca ulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H