Seorang Ayah di Pintu Sekolah
Di pagi yang merayap pelan,
di antara embun yang tersisa di daun,
seorang ayah berdiri di depan pintu sekolah,
jantungnya seperti genderang perang,
berdegup tak menentu.
Anak kecilnya, dengan seragam yang masih harum lipatan,
melangkah ragu, tangannya menggenggam erat.
Ayah ingin berkata, "Jangan takut, Nak,"
tapi suaranya tertahan di tenggorokan,
karena dia sendiri pun dilanda cemas.
Bayangan anaknya, yang dulu hanya tahu dekapan,
kini berdiri di hadapan dunia yang lebih luas,
yang penuh warna dan suara yang belum dikenalnya.
Ayah tahu, di sana ada tawa dan tangis,
kawan dan pelajaran yang tak selalu mudah.
Dia tersenyum, meski hatinya gemuruh.
Ini adalah langkah pertama yang besar,
seperti menonton anak burung belajar terbang,
dan dia, sang ayah, hanya bisa berdoa,
agar sayap-sayap kecil itu kuat menahan angin.
Gembira dan takut bercampur di dadanya,
seperti dua warna yang berbaur di langit fajar.
Dia bangga, meski sedikit enggan melepaskan.
Hari ini, di depan pintu sekolah,
dia belajar melepaskan anaknya pada dunia,
sambil tetap menjaga dalam doanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H