Jepang, sebuah negara yang terkenal dengan budaya kerja yang sangat rajin dan disiplin, telah menjadi ikon kesuksesan ekonomi global.Â
Warga Jepang dikenal sebagai individu yang aktif, berdedikasi, dan fokus pada pekerjaan mereka.Â
Namun, di balik gemerlap kesuksesan ekonomi tersebut, ada bayang-bayang yang mengintai - budaya kerja yang berlebihan yang telah menyebabkan dampak negatif pada kesehatan mental dan kesejahteraan pekerja.
Budaya Kerja Jepang: Sejarah dan Perkembangannya
Semenjak berakhirnya Perang Dunia II, Jepang merintis jalan menuju pemulihan ekonomi yang pesat. Masyarakat Jepang diberikan prinsip dan keyakinan untuk bekerja tanpa henti demi kemajuan negara.Â
Prinsip ketekunan ini menjadi pendorong kuat di balik keberhasilan Jepang dalam bangkit dan tumbuh secara luar biasa, menjadikannya salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia saat ini.
Namun, keinginan untuk terus bekerja tanpa henti ini akhirnya memunculkan fenomena yang dikenal sebagai "karoshi" - kematian akibat bekerja terus-menerus.Â
Kasus pertama karoshi terjadi pada tahun 1969, ketika seorang pekerja pria berusia 29 tahun meninggal akibat stroke saat bekerja di sebuah perusahaan surat kabar.Â
Sejak saat itu, semakin banyak kasus kecelakaan yang terjadi di kalangan pekerja Jepang akibat budaya kerja yang berlebihan.
Karoshi: Ancaman Tersembunyi di Balik Kesuksesan
Karoshi, secara harfiah diartikan sebagai kematian akibat bekerja terus-menerus, bukan sekadar istilah yang mencerminkan keadaan fisik. Hal ini juga merangkum dampak yang mungkin terjadi pada kesehatan mental pekerja.Â
Jumlah rata-rata kasus karoshi yang dilaporkan oleh pemerintah Jepang mencapai sekitar 2700 kasus setiap tahunnya. Lebih mengkhawatirkan lagi, mayoritas kasus ini melibatkan pekerja yang masih berusia muda dan produktif.