Mohon tunggu...
Muzamil Misbah
Muzamil Misbah Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang gemar baca buku, makan dan jalan-jalan

Suka menulis tentang ekonomi dan puisi, financial literacy enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jamu Gendong: Sejarah dan Makna di Balik Penjual Jamu Keliling

16 Juni 2023   12:00 Diperbarui: 16 Juni 2023   12:03 923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
penjual jamu sumber: www.instagram.com/dakwahkampus82/

"Hai, jamu-jamu, siapa mau jamu?" Kalimat ini sering terdengar di sekitar lingkungan tempat tinggalmu. Ini adalah pertanda bahwa penjual jamu gendong lagi siap melayani di tempatmu. Tahukah kamu bahwa jamu gendong sudah ada sejak zaman Hindu-Buddha?

 Jamu berasal dari bahasa Jawa Kuno, yaitu "jampi" atau "sodo," yang artinya penyembuhan menggunakan ramuan obat-obatan atau doa. Oleh karena itu, dalam pembuatannya, jamu selalu diawali dengan doa dan bahkan puasa sebelum ramuan tersebut disajikan.

Jamu memiliki banyak jenis, namun salah satu yang paling populer adalah Jamu Gendong. Jamu ini diproduksi secara rumahan dan dimasukkan ke dalam botol-botol yang kemudian dibawa dengan cara digendong. 

Namun, apakah jamu yang dijual dengan bersepeda juga bisa disebut Jamu Gowes? Hahaha, penjual jamu gendong memang identik dengan perempuan. Mengapa demikian? Pada zaman dahulu, mayoritas laki-laki lebih banyak bertugas dalam bidang pertanian. Oleh karena itu, penjual jamu gendong identik dengan seragam kerjanya berupa batik, kain jarik, dan jelas bahwa jamunya. 

Tapi, seiring berjalannya waktu, tidak hanya perempuan yang menjual jamu dengan cara digendong, ada pecel, nasi liwet, bahkan sate yang juga menggendong sendiri. 

Menggendong barang dagangannya ini memiliki arti tersendiri, seperti membawa anak kecil. Oleh karena itu, perempuan Jawa yang menggendong barang dagangannya seperti membawa anak kecil, harus diperlakukan dengan lemah lembut dan telaten.

Sejarah Jamu dalam Prasasti

Bukti bahwa jamu gendong sudah ada sejak lama dapat ditemukan di Prasasti Madawa Pura, peninggalan Kerajaan Majapahit. Raden Djamu, seperti yang disebut dalam prasasti tersebut, awalnya jamu hanya diperuntukkan bagi kalangan istana kerajaan. Namun, seiring berjalannya waktu, jamu juga didistribusikan kepada masyarakat umum. 

Penjual jamu gendong juga tidak hanya terbatas pada perempuan, karena laki-laki juga terlibat dalam bisnis ini. Perbedaannya terletak pada cara memikulnya. Di zaman sekarang, jamu sudah memiliki berbagai bentuk, seperti jamu botol instan, racikan di tempat, dan lain sebagainya. Jamu gendong menjadi jarang ditemui.

Meskipun penjual jamu gendong semakin berkurang, penting untuk mengenang sejarah dan makna di balik praktik ini. Jamu gendong merupakan bagian dari budaya dan tradisi Jawa yang berharga. Selain sebagai pengobatan tradisional, jamu juga mencerminkan peran penting perempuan dalam masyarakat. Penjual jamu gendong adalah warisan yang perlu dilestarikan sebagai salah satu aset budaya Indonesia.

Sejarah Penjual Jamu Keliling pada Masa Kolonial

Tradisi penjual jamu keliling telah ada sejak zaman kolonial Belanda. Pada masa itu, jamu dianggap sebagai obat tradisional yang memiliki manfaat kesehatan yang luar biasa. Belanda mengakui keefektifan jamu dan menjualnya di apotek. Namun, masyarakat pribumi, terutama di pedesaan, tidak mampu membeli jamu di apotek, sehingga praktik penjualan jamu keliling mulai muncul.

Pada awalnya, penjual jamu keliling menggunakan kereta kuda atau menyusuri jalan dengan membawa tas berisi botol-botol jamu. Seiring berjalannya waktu, mereka menggunakan gerobak yang dilengkapi dengan cerobong asap agar lebih mudah dikenali oleh masyarakat. Penjual jamu keliling ini menjadi pemandangan khas di Indonesia, terutama pada era 1950-an hingga 1980-an.

Peran Penjual Jamu Keliling dalam Masyarakat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun