“Hai manis? Bagaimana kabarmu? Dimana kau sekarang? Kepada siapa kau sekarang?”
Aku pernah bertemu denganmu di suatu masa kala itu
“Ingatkah?” Ah waktu dulu, kita sama-sama bersua-sapa raga, bertatap muka, namun tak sempat bertatap mata, menghafal muka, apalagi menjalar kenalan. Tak sampai se per sejuta menit kita bercanda, tak sampai se per jutaan detik kita cengkerama. Kita beranjak tanpa berpamit, seolah-olah hanya numpang lewat di persimpangan jalan dulu aku berdiri. Tanpa mengucap sedih bahkan memelas mengiba. Seperti bayang panas fatamorgana di atas jalan, cepat menghilang bersama masa yang beranjak ke sandikala.
Amboi, masa yang singkat itu, manis rasanya kala itu. Selamat pagi dunia! Demi mata panda bukan karena berdagang!
Begitu dingin, kelam, mengerikan.
Tempo hari di masa usang itu
Saling menyapa, sangat manis, amboi, semanis-segula-gulanya
Ode nan indah, elegi yang bikin masokhis, sambil makan belati, segumpal daging dicabik-cabik, sampai-sampai batok polos ditanduk-tanduki, mayang serba disemrawuti, jadinya muka belang sendiri. Amboi! Elegi pun semanis ode.
PWT kala itu, H2C. Sehari sudah, dua hari berlalu, tiga hari kelewat, berhari kemudian aku melihatmu sebelah pihak. Janganlah kau marah nona manis, aku yang titipkan tatapanku, kucurahkan sekucur lagu seladu madu, kutitipkan padanya oh amor.
Tuiiiiinggggggg.... cusssssssssss...... seeeetttttt...... iiiyyyyyyyyy...... sleeeesssshhhh.... ploooookkkkk...... tttiiiiiiiiitttttt...... plakkkkkk...... plooookkkkk...... mmmuuaaaahhhhh.......... panahnya dewa amor nancep juga pada akhirnya.
Amboi, syahdu sekali kala itu. Selamat siang dunia! Demi mata melotot bukan karena gede otot!