Gonjang ganjing defisit yang dialami BPJS Kesehatan dari tahun ke tahun ramai sekali di bicarakan, sejak diterbitkannya Perpres nomor 75 tahun 2019 yang merubah perpres sebelumnya nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, maka pemerintah merasa perlu mengadakan penyesuaian tarif, pada pasal 34 perpres 75 tahun 2019, dimana perubahan premi kelas I dari Rp. 80.000,- menjadi 160.000,-, kelas II dari Rp. 51.000,- menjadi Rp. 110.000,- dan kelas III dari Rp. 25.500,- menjadi Rp. 42.000,-
Dengan diterbitkanya perpres 75 tahun 2019 ini, masyarakat yang datang ke kantor BPJS Kesehatan setiap hari meningkat dan hampir 80 % yang datang ke Kantor BPJS Kesehatan  adalah untuk turun kelas perawatan.
Saya tidak tahu apakah skema kenaikan tarif ini dihitung untuk 5 tahun kedepan, dan apakah perhitungan kenaikan tarif ini juga telah  memperhitungkan berapa prosen dari populasi peserta yang turun kelas, artinya dari kelas I turun ke II atau langsung turun ke kelas III. Begitu juga dengan peserta kelas II yang turun ke kelas III.
Penyesuaian tarif ini memang diharapkan untuk menyelesaikan permasalahan defisit yang terjadi, namun jangan sampai begitu dilakukan penyesuaian tarif tetap saja defisit terjadi, ini disebabkan yang awalnya peserta kelas I turun beramai-ramai keleas III dan menurut pengamatan saya saat bertanya dengan peserta yang turun kelas rata-rata yang sering menggunakan BPJS Kesehatan, artinya mereka ini yang rutin menggunakan BPJS Kesehatan.
JKN-KIS ini sangat baik dan sangat bermanfaat bagi seluruh penduduk Indonesia, tentunya di khawatirkan dengan dilakukanya penyesuaian tarif ini malah untuk mereka-mereka yang tidak menggunakan melihat premi yang ada justru tidak melakukan pembayaran.
Ada baiknya di sini saya mencoba menyampaikan alur pemikiran saya sebagai masyarakat, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2011 tentang Penyelenggara Jaminan Sosial, dimana tujuan system SJSN ini dibentuk dengan prinsip kegotong royongan, nirlaba, keterbukaan, kahati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial seluruhnya untuk pengembangan program dana untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
Dalam perpres ini ruang lingkupnya ada dua yaitu, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, dimana BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program Jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian.
Antara dua badan ini seperti langit dan bumi, di mana BPJS Ketenagakerjaan memiliki Asset dan keuangan yang sangat banyak sedangkan BPJS Kesehatan mengalami defisit, mengapa kedua badan ini tidak dilebur menjadi satu, ini juga bisa melihat langsung kebenaran perusahaan yang melaporkan jumlah tenaga kerjanya, karena saat dilakukan dengar pendapat dengan DPR terlihat masih banyak perusahaan yang tidak mendaftarkan semua pegawainya ke BPJS Kesehatan.
Memang peleburan ini perlu kajian lebih dalam, tapi karena dia berada dalam satu Undang-Undang yang sama tentunya lebih memudahkan, semoga ini merupakan salah satu solusi untuk menanggulangi defisit BPJS Kesehatan.
Bogor, 06112019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H