Hari ini bertepatan dengan  tujuh puluh tahun yang lalu, tepatnya tanggal 1 Maret 1949, Tentu kalau kita membaca sejarah akan mengetahui dan mengenang perjuangan Kapten Abdul Latief dan beberapa orang prajurit Indonesia yang masih tersisa dari serangan Belanda.Â
Dan Kota yang juga penuh dengan sejarah 1 Maret adalah Yogjakarta, karena saat itu sekitar lima puluh laskar gerilya tewas dan dikuburkan tak jauh dari statiun kereta tugu Jogjakarta.
Saat itu Bapak Soeharto, presiden Republik Indonesia ke dua, masih berpangkat Letnan Kolonel, menurut cerita Kapten Latief sisa pasukannya berjumlah 10 orang, dengan penuh darah dan luka-luka mereka mundur dari arena perang, dan kembali ke markas, saat itu menurut Latief, ia bertemu dengan Letkol Soeharto yang sedang duduk santai sambal menyantap soto babat bersama pengawal dan ajudannya.
Saat itu Pak Harto sebagai komandan Wehrkreise, beliau memerintahkan kembali Latief dan pasukannya untuk kembali berperang, diminta untuk menggempur tentara Belanda yang masih ada di sekitar itu.
Dalam buku yang di tulis Soebandrio, mantan wakil Perdana Mentri Republik Indonesia dengan judul Kesaksianku Tentang G 30 S PKI (2000), apa yang disampaikan Latief ada diceritakan di buku tersebut.
Dari cerita sejarah dan buku yang ada memeng, Latief merupakan salah satu orang andalan Soeharto selama masa revolusi hingga terjadinya serangan umum 1 Maret 1949.
Serangan Umum 1 Maret 1949 juga terkenal dengan sebutan serangan 6 Jam di Yogjakarta. Karena Latief dan pasukannya diberi kepercayaan untuk menguasai dan menduduki daerah sepanjang Malioboro, mulai dari stasiun Tugu sampai pasar Besar Yogjakarta atau yang dikenal Beringharjo.
Cerita sejarah yang ada saat era Orde Baru berbeda lagi, karena disini di ceritakan bahwa Serangan umum 1 Maret 1949, Bapak Soeharto bapak pemberani, yang banyak memiliki andil dalam peristiwa tersebut, sebagai mana yang di tuangkan dalam layar lebar dengan judul Janur Kuning (1979).
Saya tidak ingin terlibat terlalu jauh untuk melihat yang mana cerita sejarah yang benar, karena perbedaan yang ada sangat mencolok, karena dalam film yang di tayangkan pertama kali pada tahun 1951 dengan judul Enam Djam di Jogja karya Usmar Ismail, sebelum Bapak Soeharto menjadi Presiden, di kisahkan peran Soeharto sangat berbeda dengan Janur Kuning.
Pada Tahun 1981 kembali di rilis film, menurut saya seperti mencoba menyatukan keduanya dengan judul Serangan Pajar (1981). Yah, seperti mengoreksi dua film sebelumnya, atau pada film Idiologi dan Militer (1999).
Setelah Rezim Orde Baru tumbang, mulai banyak mencuat hal-hal yang bertentangan dengan apa yang saya dapatkan dari buku-buku sejarah dan cerita- cerita atau biografi dan oto biografi dari orang-orang terkenal dan pejuang di Tanah Air ini.