Ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil semakin parah. Sebanyak 95 persen konsumsi energi nasional saat ini masih bertumpu pada minyak bumi dan batu bara. Kondisi ini membuat revolusi menuju energi baru terbarukan dan ramah lingkungan semakin menemukan jalan terjalnya. Namun, ada apa sebenarnya di balik ini semua? Mengapa ketergantungan ini menjadi sangat kronis?
Indonesia merupakan salah satu negara yang menyimpan cadangan bahan bakar fosil yang melimpah. British Petroleum pada tahun 2014 melaporkan, negeri ini memiliki 2,9 triliun meter kubik gas alam, 3,7 juta barel minyak bumi, dan 28 miliar ton batu bara yang masih aktif dieksplorasi dan diekstraksi hingga saat ini. Indonesia diperkirakan masih bisa bergantung pada total bahan bakar fosil yang dimiliki hingga 180-200 tahun mendatang.
Namun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia mengatakan jika tingkat produksi seperti saat ini terus dipertahankan, cadangan batu bara Indonesia diperkirakan akan habis kira-kira dalam 83 tahun mendatang. Sedangkan minyak bumi mencapai angka yang lebih kritis lagi, yaitu hanya 12 tahun lagi.
Di sisi lain, produksi bahan bakar fosil di Indonesia meningkat secara signifikan dalam dekade terakhir. Indonesia adalah produsen dan eksportir batu bara terbesar ketiga di dunia setelah Tiongkok dan Amerika Serikat dengan nilai produksi bersih mencapai 281,7 Mt (setara juta ton minyak). Ini belum termasuk batu bara yang ditambang dan diekspor secara ilegal. Produksi dan ekspor yang besar ini tentu menguntungkan Indonesia dari sisi ekonomi.
Bahan Bakar Fosil: Energi Kotor
Namun produksi yang dilakukan terus menerus tentu akan menambah jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) yang berkontribusi terhadap pemanasan global. Bahkan akan menghambat berkembangnya energi baru dan terbarukan.
Berdasarkan data dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tahun 2012, saat ini Indonesia berada di urutan ke-14 sebagai negara pengemisi GRK terbesar di dunia dari konsumsi bahan bakar, yaitu sebesar 0,44 gigaton setara CO2. Padahal pada Konferensi Perubahan Iklim ke-21 di Paris Desember 2015 lalu, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 29-41 persen sebelum 2030.
‘Rakus’-nya Indonesia terhadap energi fosil ini bisa disebabkan karena berbagai hal. Di antaranya adalah kebutuhan energi yang terus meningkat seiring dengan melonjaknya jumlah penduduk, pembangunan, dan rasio elektrifikasi yang rendah. Tak hanya itu, bahan bakar fosil saat ini masih menjadi energi yang paling murah dan mudah didapat dibandingkan sumber energi lainnya.
Namun jika dianalisis lebih lanjut, bisa jadi ada faktor lain yang memengaruhi mengapa Indonesia tidak segera berpindah dari energi kotor ke energi bersih. Benturan antara kepentingan industri bahan bakar fosil dan respon terhadap pemanasan global adalah salah satunya. Benturan tersebut bisa turut memengaruhi wajah demokrasi Indonesia.
Penyumbang Terbesar Pendapatan Pemerintah
Saat ini terdapat puluhan industri bahan bakar fosil, baik itu minyak bumi atau batu bara yang melakukan eksplorasi di Indonesia. Pickard dan Shakuntala pada tahun 2014 menyebutkan, perusahaan minyak dan gas di Indonesia memperoleh keuntungan sebesar Rp 400 triliun dan sekitar Rp 64 triliun di antaranya diperoleh dari proses hulu.
Pengeksplorasi minyak dan gas terbesar di Indonesia didominasi oleh perusahaan multinasional asing. Chevron adalah yang terbesar, diikuti Pertamina setelahnya. Dari Rp 772,6 triliun keuntungan yang diperoleh perusahaan, Pemerintah Indonesia menerima sekitar Rp 72,3 triliun dari pajak dan Rp 355,9 triliun dari royalti. Jika dikalkulasikan, rata-rata Indonesia memiliki saham sekitar 18 persen.
Data ini menunjukkan bahwa pendapatan terbesar pemerintah Indonesia berasal dari industri bahan bakar fosil. Industri ini telah menyumbang 30 persen pendapatan pemerintah pada tahun 2011, tiga perempat di antaranya berasal dari ekspor minyak dan gas. Hal ini secara tidak langsung membuat Indonesia memiliki ketergantungan terhadap ekspor bahan bakar fosil.