Belakangan saya sering mengamati kartun di koran. Beberapa di antaranya sangat ikonik. Jelas merepresentasikan Indonesia terkini. Di Koran Tempo hari ini, tiga turis dengan baju pantai dan kacamata hitam melongok ke bawah dari pesawatnya. Melambaikan tangan seperti hendak mengatakan goodbye. Di bawahnya gunung mengepulkan asap. Di pinggir gunung air laut meninggi membentuk tsunami. Dua orang di bawah sana dengan paras rakyat menengadah ke atas tanpa harapan. Di bawah kartun itu tertulis caption text "Maaf, studi banding jalan terus".
Saya melanjutkan membaca editorialnya. Bencana Datang, DPR Pergi.Itu judulnya. Baris-barisnya bersemangat. Kritis menghantam. Tak ada maaf dan apologi diperlukan dari para pelancong DPR itu. Mereka brengsek.
Dalam hati saya protes. Saya tidak tahu persis apakah protes ini pikiran busuk atau karena pekerjaan saya di lembaga public relation untuk institusi politik semacam DPR ini. Cuma saya pikir saya bisa membedakan apa pekerjaan publik relation dan mana pekerjaan advertising. Saya membaca dan mengikuti betul isu studi banding ini. Sudah ada usulan moratorium selama satu semester ke depan. Kok DPR dipukul rata. Toh sebagian anggotanya sudah menyerahkan satu bulan gajinya untuk korban bencana. Kurang apalagi.
Sebenarnya DPR tak sepenuhnya salah. Pemerintah lebih parah kelakuannya dari DPR. Kesalahan DPR adalah mereka pergi di saat tak tepat. Jadi terkesan tidak peka dan minus empati pada para korban. Citra buruk mereka selama ini juga membuat mereka susah untuk melepaskan diri dari kritik.
Tapi sudahlah, apa yang saya baca selanjutnya adalah artikel "Tidak Menjadi Indonesia" dari Raisa Kamila, mahasiswa filsafat UGM yang mendapat juara satu kompetisi esai mahasiswa 2010 yang diadakan oleh Tempo Institute.Saya seperti dejavu. Ternyata artikel inilah yang dibacakan oleh pendongeng Agus PM Toh di Aula Nurcholish Madjid waktu itu (28/10).
Saya memang seringkali tidak mampu menangkap makna seluruh acara atau pertemuan yang saya ikuti. Ketidakmampuan ini karena saya sering mencoba mencari dan mengambil jeda. Suka mempertanyakan apa manfaat dari suatu kegiatan yang saya ikuti. Kadang merugikan karena saya terlihat tell me (telat mikir). Tapi kadang ini menguntungkan karena saya bisa merasakan lebih dalam dengan melakukan pengulangan. Pengulangan buat saya sekarang seringkali lebih menyenangkan. Seperti mengulang perkuliahan dan mengulang mencintai perempuan-perempuan yang dulu saya pernah cinta. mengapa?
Timeline twitter itu menyenangkan sekali karena saya mendapatkan kecepatan. Merasakan suatu kondisi di mana saya dilemparkan dalam perasaan dan ilusi tentang apa yang disebut update. Banyak masalah dan informasi datang dan bisa langsung direplai atau dirituit. Tapi kecepatan itu kadang penyakit. Karena membuat saya sangat fokus dan memimpinkan suatu dunia ideal yang maju. Dunia yang singkat dan cepat. Sekilas tapi tidak dalam. Tanpa nestapa dan kepedihan hidup yang akhirnya membuat saya selalu melihat masa depan untuk kemudian masa bodoh dengan banyak hal seperti masa lalu.
Dari dilema soal kecepatan dan kedalaman, kisah tentang Ilyas oleh Tolstoy serta nasihat tentang hidup dinamis yang grotesque dari Gunawan Muhamad minggu ini, saya menyetujui bahwa saya memang ingin meruntuhkan banyak kepedihan secepatnya dengan menunggu sambil menggenggam pisau batu. [ ]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H