Mohon tunggu...
misbahudin muhamad
misbahudin muhamad Mohon Tunggu... pegawai swasta -

I am an Editor, Urbanist, Moviegoer. Bekerja di Jakarta untuk sebuah perusahaan swasta yang mengurusi Personal Branding. Berminat dengan bahasa Prancis, jurnalisme, filsafat dan semua produk kuliner nusantara, China, India, dan Eropa. Blogku lainnya, http://filsafat-misbah.blogspot.com Tweetku, http://twitter.com/mmmisbah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gegar Budaya, Media Sosial dan Privasi

5 Agustus 2010   06:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:17 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pertengahan 2010, ada dua tulisan reflektif. Pertama, soal apatisme politik oleh Azyumardi Azra. Kedua, soal mengakhiri masa transisi demokrasi oleh Indra Jaya Piliang. Apa yang bisa disimpulkan dari pikiran keduanya adalah sekarang ini masyarakat Indonesia relatif sudah tidak terkena lagi guncangan dalam menghadapi persoalan hiruk- pikuk isu-isu besar makro (ekonomi politik budaya)pasca reformasi dan suasana keterbukaan.

Mari memulai memotretkondisi Indonesia kita dari beberapa kasus kecil. Kasus pertama adalah keluhan seorang teman beberapa bulan lalu yang merasa posting status di fesbuknya minim komentar. Dia mengeluh, “Kok status gw sekarang sedikit yang komen ya?” Rating komentar di status fesbuknya jauh menurun selain komentator adalah teman yang itu-itu juga. Dulu dia pernah mengalami masa panen status hingga 100 komentar pada awal Pesbuk baru terkenal 2008-an. Dia bukan termasuk seleb dan isi statusnya sederhana sekali. “Pening”.

Kedua, kasus gegar budaya komunitas. Ini cerita teman yang sempat ditabrak seorang peserta munas PKS di hotel Ritz Carlton beberapa waktu lampau. Orang dengan penampilan daerah tersebut menabraknya karena meleng saat menaiki eskalator. Warga PKS ini terpana seorang perempuan muda dengan pakaian fitness.

Ceritanya lagi, saat makan siang dengan suasana mewah gedung Pacific Place dan Ritz Carlton dengan banyak perempuan eksekutif seksi di ruang makan yang sama,kebanyakan pria PKS ini nampak bengong dan salah tingkah karena selama ini lebih sering menemukan perempuan dengan pakaian tertutup. Saat itu, pihak hotel Ritz Carlton juga cukup disibukkan permintaan panitia yang minta disediakan ember di setiap kamar mandinya.

Dalam hal ini, Anis Matta, sekjen PKS rupanya sukses mengenalkan dunia keseharian yang begitu berbeda dengan dunia ide komunitas PKS.

Pada level pejabat negara, seorang menteri harus menunda pertemuan beberapa hari dengan duta besar salah satu negara sahabat karena belum siap dan merasa harus memperbaiki kemampuan bahasa Inggrisnya yang jelek. Ini kejadian beberapa tahun lalu. Menteri tersebut kini sudah lengser.

Kasus Alay, anak layangan dengan tangan melambai yang dibayar 50 ribu setiap pagi untuk menggembirakan acara musik lipsync di stasiun TV, juga sangat menyedihkan.

Beberapa isu yang menghiasi media seperti video porno dan pelarangan infotainment baru-baru ini, juga tidak terlepas dari persoalan gegar budaya dan malfungsi media sosial yang dialami warga Indonesia. Definisi privasi dan pemisahan ruang publik rupanya belum terpahamkan dengan baik. Kondisi ini dimaksimalisasi beberapa orang pemilik rumah produksi seperti Ilham Bintang untuk mendapatkan untung. Sayang, bisnisnya merusak nalar dan mental bangsa untuk lebih berkeadaban dan cerdas.

Kiranya, cuma orang indonesia yang sangat disibukkan dengan memiliki lebih dari satu ponsel untuk berkomunikasi. Kemal Arsjad, seorang pebisnis muda mengaku pernah memiliki enam ponsel dalam suatu seminar di JCC. Dalam penggunaan media sosial, hanya orang Indonesia yang memiliki lebih dari seribu teman di jejaring sosial semacam Facebook.Padahal kemungkinan teman yang pernah kenal dan dekat hanya di bawah seratus. Berbalik kondisinya dengan orang Jepang dan Inggris yang malah tidak terlalu menyukai media sosial ini dan menganggapnya sebagai ancaman untuk privasi.

Suasana keterbukaan memang akan membawa gegar budaya pada masyarakat sosialis agamis seperti Indonesia sementara waktu. Kita memang masih menyaksikan bagaimana institusi resmi dan formal tidak berdaya saat harus berhadapan dengan informalitas model komunitas FBR. Cuma saya juga percaya, kondisi ini akan segera berakhir karena ada banyak kritik dan kesigapan warga terdidik untuk membawa masyarakat lebih memahami makna sebenarnya dari individualisme, privasi dan ruang publik.

Hidup Sherina Munaf….mmmuachhhhhh!!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun