Mohon tunggu...
Lampu yang terang
Lampu yang terang Mohon Tunggu... -

Manusia pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kedudukan Ijma’ sebagai Dalil Hukum

15 Februari 2015   14:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:09 3880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ijma’ menempati salah satu sumber hukum atau dalil hukum berada setelah al-Qur’an dan Sunnah. Demikian pendapat beberapa jumhur ulama’ mengenai ijma’. Hal ini menunjukkan bahawa betapa pentingnya kedudukan ijma’ sebagai hujjah atau dalil hukum. Dalil-dalil yang ada pada ijma’ wajib untuk di patuhi oleh semua umat muslim jika tidak ada dalam al-Qur’an dan Sunnah.

Jika tidak mematuhi hal yang di tetapkan dalam ijma’ maka sama saja berarti tidak mematuhi terhadap apa yang telah di tetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini karena dalil yang ada pada ijma’ sumber hukumnya juga berasal dari al-Qur’an dan hadis juga. Jumhur ulama’ mengemukakan pandapat ini tentu dengan menggunakan dasar yang ada pada al-Qur’an dan Sunnah. Berikut beberapa dalil yang dijadikan dasar oleh para ulama’ kaitannya mengenai ijma’.

Surat an-Nisa (4):115

ا

Yang artinya:

“dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan orang-orang mukin, Kami biarkan mereka  berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia kedalam jahannam, dan jahanam itu merupakan seburuk-buruknya tempat kembali”

Dari uraian ayat tersebut diatas, dapat diketahui bahwa yang dinamakan orang-orang mukmin ialah orang yang melaksanakan apa yang semestinya dilaksanakan sebagai umat mukmin. Mukmin yang tidak melaksanakan apa yang seharusnya dilaksanakan oleh orang mukmin, maka ia mendapat ancaman neraka jahanam sebagai tempat kembalinya. Neraka jahanam merupakan tempat kembali yang paling buruk. Demikianlah yang di maksud ijma’ kaum muslimin.

Kaum muslimin disuruh untuk mengikuti ijma’. Kaum muslimin dilarang untuk mengikuti jalan selain apa yang di ikuti kaum muslimin. Artinya, menjadi kewajiban bagi kaum muslimin untuk mengikuti atau mentaati ijma’.

Apa yang telah ditetapkan oleh ijma’, wajik dilaksanakan perintahnya, dan apa yang dilarang oleh ijma’ maka wajib dijauhi oleh kaum muslimin. Demikian penjelasan dari surat an-Nisa: 115 yang tersebut diatas. Barang siapa, mukmin yang tidak mengikuti jalan yang telah di tetapkan dalam ijma’, diancam akan dikembalikan pada neraka jahanam.

Selain surat an-Nisa: 115, ada beberapa ayat lain dalam al-Qur’an yang menjadi dasar ijma’. Diantaranya adalah surat al-Imron (3): 110 dan 103, surat an-Nisa ayat 59. Selain dasar dari al-Qur’an, terdapat juga sumber yang berasal dari sunnah.

Adapun dari dalil sunnah, hadis nabi yang di riwayatkan oleh beberapa perawi yang berbeda, namun inti yang ingin disampaikan adalah sama, yaitu bahwa umat nabi Muhammmad tidak akan pernah sepakat dengan kesalahan.

Berikut isi dari hadist tersebut yang artinya:

‘’umatku tidak akan sepakat untuk melakukan kesalahan. Umatku tidak akan sepakat untuk melakukan kesalahan. Allah tidak akan membuat umatku sepakat untuk melakukan kesalahan. Allah tidak akan membuat umatku sepakat untk melakukan kesalahan”.

Hadist ini menjelaskan bahwa, apabila ada kesepakatan dalam suatu umat, maka kesepakatan itu pasti diambil yang paling baik dan yang paling benar. Artinya kesepakatan itu terjaga dari kesalahan dan dijaga kebenarannya. Dalam hal urusan apapun, ketika kesepakatan itu dilakukan secara bersama, maka akan terjaga dari kesalahan.

Dari penjelasan hadist diatas, menegaskan bahwa ijma’ itu terpelihara dari kesalahannya. Artinya bahwa kesepakatan didalam ijma’ itu mengandung kebenaran yang telah dijamin oleh Rasulullah SAW. Dalam hadist tersebut telah menjamin bahwa kesepakatan yang diambil oleh umat Muhammad SAW. telah dijamin kebenarannya oleh Allah SWT.

Ada juga pendapat lain dari jumhur ulama’, bahwa apabila rukun-rukun ijma’ telah terpenuhi, maka ijma’ tersebut menjadi hujjah (dalil) yang qath’i (pasti), wajib diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya. Bahkan, apabila ada yang mengingkarinya dianggap kafir.

Menurut pendapat jumhur ulama’ ini, dalil yang telah ditetapkan oleh ulama’ pada generasi tertentu, tidak boleh direvisi atau dibahas oleh generasi yang selanjutnya. Karena ijma’ yang telah ditetapkan sudah menjadi kesepakatan bersama dan sifatnya qath’i (pasti) sebagai hujjah. Dalil Ijma’ tersebut kedudukannya nomor tiga setelah al-Qur’an dan sunnah.

Pendapat ini memang banyak yang menilai terlalu keras. Sehingga banyak yang tidak sepakat dengan dalil ini. Memang setiap golongan mempunyai perbedaan pendapat kaitannya dengan pembahasan mengenai ijma’ sebagai hujjah (dalil). Namun, perbedaan pendapat tersebut kiranya tidak menjadi sebuah masalah yang kemudian dapat menjadikan perpecahan. (*)

Amin Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), halm. 118

Ibid.

Ibid, halm. 120

Nasrun harun, Ushul Fiqh, (Logos Publishing House: Jakarta, 1996), halm. 54

Ibid.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun