Mohon tunggu...
Mirza Fanzikri
Mirza Fanzikri Mohon Tunggu... -

I am a master student, activist HMI, writer, and trainer.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menunggu Qanun Kesejahteraan Sosial

6 September 2013   16:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:16 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Mirza Fanzikri

Harian Serambi Indonesia, 4 September 2013

SETELAH beberapa kali mendapat teguran serta sindiran dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi, akhirnya anggota Komisi F DRPA pada 28 Agustus 2013 lalu, mulai melaksanakan rapat dengar pendapat umum (RDPU) Rancangan Qanun (Raqan) Kesejahteraan Sosial. Meski terbilang kesiangan, ini merupakan langkah tepat yang dilakukan DPRA sebagai tindakan konkret untuk meningkatkan kesejateraan rakyat Aceh, setelah sekian lama merasakan hidup dalam kesengsaraan akibat bencana alam dan sosial.

Walaupun tak seheboh Qanun Bendera dan Lambang Aceh, serta Qanun Lembaga Wali Nanggroe, namun pembahasan Raqan Kesejahteraan sosial diyakini jauh lebih urgent. Jika kesejahteraan yang merupakan kebutuhan dasar semua masyarakat Aceh, sedangkan bendera, lambang, dan lembaga wali nanggroe merupakan ‘gensi politik’ bagi Pemerintah Aceh, maka kondisi Aceh saat ini tak ubah ibarat seorang manusia yang sedang sangat lapar tapi memilih berbelanja pakaian baru untuk gaya dan kemewahan, ketimbang membeli beras sebagai kebutuhan pokok. Ini merupakan suatu tindakan salah jep ubat (baca: kurang tepat) dalam membangun Aceh yang pro-rakyat.

Kesejahteraan sosial
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara nasional telah mendapat jaminan dari Negara dalam UU No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Secara khusus, Aceh punya keistimewaan tersendiri dengan adanya Qanun (perda) tentang Kesejahteraan Sosial sebagaimana diamanatkan dalam MoU Helsinki dan UUPA. Dengan demikian, kiranya qanun tersebut dapat menjamin kesejahteraan sosial masyarakat Aceh secara kolektif, konkret, dan berkelanjutan. Qanun ini harus benar-benar menjadi tanggung jawab eksekutif untuk menjalankannya, bukan sekadar ‘bahan dagangan’ dan pencitraan.

Dalam Ilmu Kesejahteraan Sosial, ada dua target yang harus dibenahi untuk mewujudkan kesejahteraan sosial: Pertama, meminimalisir masalah sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, KDRT, masalah kesehatan, pendidikan, dan lain-lain; dan kedua, memberi pelayanan (service) kepada penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), seperti penyandang cacat (disable), gelandangan, pengemis, korban penyalahgunaan NAPZA, ODHA, lansia, wanita rawan sosial ekonomi, dan lain-lain.

Untuk membenahi masalah sosial, pemerintah harus menyediakan berbagai program pembangunan sosial yang sistemik. Dan untuk menangani PMKS pemerintah wajib memberikan pelayanan sosial secara klinis. Sehingga cita-cita mewujudkan kesejahteraan sosial benar-benar dibarengi oleh tindakan yang nyata.

Kategori rakyat sejahtera (people welfare) adalah jika masyarakat telah terpenuhi kebutuhan dasar; sandang, papan, dan pangan. Dan wujud dari kesejahteraan sosial, apabila rakyat telah terpenuhi kebutuhan dasar serta mampu menjalankan fungsi sosial secara fisik, mental, dan lingkungan. Untuk mencapai kondisi tersebut pemerintah harus malakukan peningkatan program-program pembangunan sosial yang berimplikasi pada kemandirian masyarakat.

Pembangunan sosial
Menurut UN-ESCAPE, pembangunan sosial pada dasarnya dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup manusia melalui upaya-upaya untuk mengangkat manusia dari keterbelakangan menuju kesejahteraan. Prioritas pembangunan sosial mengarah kepada program peningkatan pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan lapangan kerja, asuransi korban konflik, pemberian jaminan hari tua bagi lanjut usia, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat gampong.

Sejatinya pembangunan itu harus dilengkapi oleh tiga pilar, yaitu  sosial, ekonomi, dan lingkungan. Namun dalam pelaksanaannya, sosial dan lingkungan lebih sering dikorbankan demi kepentingan ekonomi, tentu tak terlepas dari pengaruh virus kapitalisme yang menyebar dalam setiap kebijakan pembangunan.

Pembangunan Aceh, 8 tahun pasca-perdamaian telah tumbuh dengan sangat pesat, terutama pembangunan infrastruktur. Sedangkan pembangunan sosial hanya sedikit yang mampu diakses masyarakat. Contoh konkrit pembangunan sosial dalam konteks lokal Aceh itu seperti Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), bantuan beasiswa pendidikan, bantuan pendidikan dayah, program ADG. Di skala nasional ada program PNPM-Mandiri, Program Keluarga Harapan (PKH), Jamkesmas, bantuan dana BOS, dan program pemberdayaan masyarakat pedesaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun