Mohon tunggu...
MIRZA
MIRZA Mohon Tunggu... Freelancer - Masyarakat Umum

Mengabdi dengan Hati Berkarya untuk Negeri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Ladang ke Laboratorium, Transhumanisme dan Masa Depan Indonesia

26 November 2024   09:33 Diperbarui: 26 November 2024   10:21 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Ilustrasi Freeepik

Kondisi ini diperburuk oleh kurangnya dukungan terhadap petani kecil, kebijakan agraria yang tidak berpihak, serta modernisasi yang justru meminggirkan komunitas agraris. Akibatnya, regenerasi petani nyaris tidak terjadi. Lalu siapa yang akan bertani? Jawabannya adalah: teknologi. 

Mesin, algoritma, dan printer 3 dimensi siap menggantikan tangan petani, membawa kita ke dunia di mana pangan adalah barang produksi teknologi, bukan hasil dari hubungan manusia dengan alam.

Dampak Sosial dan Ekologis

Transformasi ini tidak hanya berdampak pada petani, tetapi juga pada masyarakat luas. Pertama, kita kehilangan keberagaman hayati. Benih lokal yang kaya nutrisi dan adaptif terhadap kondisi alam setempat akan tergantikan oleh benih rekayasa genetika yang seragam. Kedua, kita kehilangan kedaulatan atas makanan kita sendiri.

 Ketika teknologi dan bahan makanan sintetis dikuasai oleh segelintir perusahaan, maka kita hanya menjadi konsumen pasif yang tergantung pada apa yang disediakan oleh mereka.

Ketiga, hilangnya hubungan manusia dengan tanah, alam, dan praktik bertani tradisional. Budaya pangan yang telah mengakar selama ribuan tahun perlahan akan lenyap, digantikan oleh makanan hasil laboratorium yang steril dan tidak memiliki nilai historis.

Sebagaimana Karl Marx mengatakan bahwa perubahan hanya terjadi melalui aktivitas manusia, maka respons terhadap ancaman transhumanisme juga harus lahir dari perjuangan kita sendiri. Generasi muda harus kembali melibatkan diri dalam sektor agraria, baik melalui pendidikan, pengorganisiran, maupun keberpihakan pada petani kecil.

Tugas kita saat ini adalah membangun kembali pola-pola produksi yang berakar pada kearifan lokal. Program-program yang mendukung petani kecil, pasar tradisional, dan benih lokal harus diutamakan. Kita perlu menolak dominasi teknologi pangan yang justru merampas hak kita atas sumber daya dan kehidupan.

Menutup Jalan untuk Imperialisme Baru

Program-program prioritas seperti anti-neoliberalisme dalam sektor pangan harus menjadi agenda utama. Kita harus mendukung kedaulatan pangan yang berbasis pada rakyat, bukan pada korporasi. Memperjuangkan hak petani kecil, mengamankan lahan pertanian, dan memperkuat pasar lokal adalah bentuk perlawanan nyata terhadap transhumanisme imperialistik.

Pada akhirnya, semua ini kembali pada kita, apakah kita akan menerima makanan dari printer 3D sebagai masa depan, atau memilih mempertahankan tanah dan tradisi agraris kita sebagai sumber kehidupan? Jawaban dari pertanyaan ini akan menentukan wajah masa depan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka atas pangan atau sekadar menjadi konsumen pasif dalam dunia yang dikuasai oleh korporasi. Pilihan ada di tangan kita.

Penulis adalah anak muda  yang berasal dari parigi moutong provinsi sulawesi tengah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun