Presiden Joko Widodo menetapkan pada tanggal 22 Oktober 2015 dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 tahun 2015 menjadi diperingatinya hari santri di Indonesia. Tentu tidak mudah untuk menetapkan tanggal tersebut untuk menjadi hari santri yang diperingati setiap tahunya. Banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama dari lintas organisasi masyarakat (ormas) islam yang pro dan kontra terhadap penentuan hari santri.Â
Muhammadiyah misalnya yang menolak penetapan hari santri dengan pendapat akan terjadi pementaan di masyarakat. Pemetaan yang dimaksud Muhammadiyah adalah nantinya akan tercipta  identitas tidak langsung antara santri dan nonsantri sehingga berpotensi menimbulkan perpecahan.Pernyataan penolakan Muhammadiyah tersebut disampaikan saat pertemuan perwakilan ulama dari ormas islam di Hotel Salak, Bogor, Jawa barat pada 22 April 2015.Â
Sikap Muhammadiyah tersebut harus kita hargai sebagai hak oraganisasi untuk menyampaikan kebebasan berpendapat. Pertemuan yang digelar selama dua hari itu, merupakan perintah langsung Presiden Joko Widodo  kepada Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Syaifuddin untuk mengadakan pertemuan ulama besar sebagai dsikusi untuk rencana penetapan hari santri.
Said Aqil selaku ketua pengurus besar nahdlatul ulama (PBNU) menganggap dengan ditetapkannya Hari Santri tidak akan membentuk pemetaan di masyarakat serta tidak juga berpotensi memecah persatuan. Sebab, banyak hari nasional lain yang berpotensi menimbulkan gejolak  di masyarakat namun ternyata tidak terjadi.
 Selain itu Muhammadiyah melalui Din Syamsudin mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo agar kembali mengkaji sebelum pemerintah mengesahkan 22 Oktober menjadi hari santri. Sementara itu Rais Aam PBNU KH Ma'ruf Amin mengatakan dengan ditetapkanya hari santri merupakan bentuk pengakuan pemerintah terhadap peran santri dalam  konteks kenegaraan.
Jika ditelisik lebih lanjut saat proses penetapan hari santri maka Nahdlatul Ulama (NU) lah organiasi yang paling berpengaruh dalam terjadinya hari santri. NU seperti mendapat hak ekslusif dari pemerintah untuk menetapkan konsep atau rancangan hari santri. Sebagai contohnya adalah PBNU menolak diadakanya hari santri setiap 1 Muharram atau diperingati setiap tahun baru islam, dan lebih memilih tanggal 22 Oktober menjadi tanggal diperingatinya hari santri dengan dasar tanggal tersebut terjadi peristiwa Resolusi Jihad Kiai Hasyim Asy'ari yang menggerakaan seluruh elemen masyarakat termasuk para santri untuk mempertahankan kemerdekaan dari serbuan agresi militer Belanda dan Sekutu.
Politik kebangsaan merupakan istilah yang diangkat untuk "membranding" hari santri agar dapat diterima golongan masyarakat tertentu sekaligus menegaskan bahwa hari santri bukan gerakan politik praktis. Terjadinya penetapan hari santri ini tidak terlepas dari janji Presiden Joko Widodo yang menjanjikan adanya hari santri jika ia terpilih menjadi presiden pada saat kampanye pemilihan presiden tahun 2014, kemudian NU menganggap janji kampanye tersebut merupakan gagasan yang baik dan harus direalisasikan.
Janji kampanye ini merupakan langkah politik untuk menggaet masa dari suara mayoritas umat islam yang ada di indoesia khususnya dari para ulama ormas islam dan kalangan  pesantren di Indonesia.  Mengingat janji kampanye ini belum ada pada masa pencalonan presiden sebelumnya.Â
Penetapan hari santri juga bisa dikatakan sebagai langkah politik yang dilakukan pemerintah dengan tujuan mempertahankan legitimasi yang telah didapatkan sebelumnya. Jika pemerintah gagal mempertahankan legitimasinya maka bisa dipastikan akan banyak goncangan pada jalanya pemerintahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H