Mohon tunggu...
Muhammad Mirza Ayatulloh
Muhammad Mirza Ayatulloh Mohon Tunggu... Freelancer - Ordinary person

pengemis Ilmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Remah Roti (1)

1 Januari 2016   00:18 Diperbarui: 1 Januari 2016   00:18 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam ini hujan, dengan kilat yang menyambar-nyambar. Udara diluar ruangan lumayan tidak bersahabat, dingin hawa malam yang dibarengi kabut yang menebal. Terlihat lampu-lampu disepanjang jalan telah menyala, obor-obor tiap rumah telah dinyalakan. Tetapi ada satu rumah yang tidak diterang cahaya sama sekali. Rumah bewarna merah muda, yang berada disamping rumah besar bercat hijau tua.

Rumah itu tidak ikut menyalakan obor seperti yang lain. atau memang tidak ada cahaya yang akan muncul dirumah itu?

Rumah itu adalah rumah amir. Seorang pemuda bergelar sarjana muda yang sedang bingung menghadapi dirinya. Seorang pemuda yang hidup dengan kedua orangtua yang telah tiada, hanya tersisa dalam kenangan indah berbingkai kaca. Seorang pemuda, ya, hanya seorang pemuda.

Malam itu mengingatkan ia akan masa-masa dahulu dalam hidupnya. Masa yang sering kali dirindukannya sekarang. Malam yang sama, saat ia menangis tersedu-sedu disamping jenazah kedua orangtuanya. Malam yang sama saat ia benar-benar kehilangan senyum dan tertawanya. Malam yang sama, saat ia merasa semua hal indah telah terenggut dari dirinya.

Pemuda itu duduk didepan terasnya. Dalam remang-remang lampu jalan, wajahnya terlihat sekilas, lamat-lamat. Malam itu hujan cukup deras, membuat orang yang ingin bercakap-cakap harus mengeluarkan suara yang lebih lantang bila ingin terdengar jelas. Tapi, jika kau mendekat pada pemuda itu, pelan-pelan kau akan mendengar suara tangisan.

Tangisan yang kadang terdengar jelas, kadang hampir tak terdengar termakan oleh suara hujan. Pemuda itu menangis. Entah kenapa, apakah ia teringat oleh kematian orang tuanya? Atau ia teringat akan beratnya hidup sesungguhnya tanpa kedua ornagtuanya? Atau ia sedang meratapi diri mengenang apa yang telah dilakukannya selama ini?

Apapun alasannya, hanya satu yang benar. Pemuda itu tidak ingin orang lain mengethaui tangisnya. Pemuda itu ingin hujan malam itu menelan tangisnya, membawa pergi seluruh duka yang ada dalam hatinya. Pemuda itu ingin bulir-bulir hujan dihadapaannya menjad pelipur lara dan dahaga batin dalam dirinya.

Ctarrr.. Kilat menyambar-nyambar dengan terangnya. Seakan tidak peduli dengan kesan orang-orang yang melihat dirinya. Apakah takut, ngeri, atau bahkan takjub.

Dalam sekilas cahaya petir, Nampak pemuda itu memegang sesuatu yang ada dalam sebuah kotak. Kotak itu bewarna merah, apabila dibuka maka akan Nampak sebuah cincin bermata berlian yang indah. Semua yang melihatnya, niscaya akan menyukai dan terpesona oleh kilauan cahaya cincin itu. pemuda itu memegangnya dengan tangan gemetar. Tak lama, isak tangisnya kembali sayup-sayup terdengar.

Tangis kedukaan yang begitu dalam. Mampu menyayat hati ornag yang mendengarkannya. Laksana tangis seorang bayi yang terpisah jauh dari ibunya. Laksana teriakan penumpang kapal yang berlayar tanpa seorang nahkoda. Laksana seekor anak ayam yang kehilangan induknya dalam keremangan malam. Putus asa, sedih, terluka, merana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun