Sedari dulu, ketika membaca berita-berita terkait kejahatan terutama tindak pidana korupsi dan mal-administrasi dalam birokrasi, baik media maupun publik kerap menimpali berita tersebut sebagai kesalahan ‘oknum’. Bila ada suatu perbuatan tercela dalam birokrasi atau sistem kerja pemerintah baik pusat maupun daerah, kata ‘oknum’ keluar sebagai 'mantra' apologi dari kesalahan-kesalahan tersebut. Kata ‘oknum’ seolah berkata: “tenang saja, secara institusi kami masih on the right track, itu hanya perbuatan segelintir orang (oknum) saja.”
Selama studi di luar negeri, saya masih membawa rasa penasaran akan makna dan arti kata ‘oknum’ tersebut. Saya kerap berdiskusi dengan teman-teman baik westerners maupun orang asia. Baik mereka yang dikategorikan sebagai warga negara dari negara maju (semisal Australia, Singapura, Korea Utara dan Jepang), maupun negara Asia kelas menengah (semisal beberapa negara Asean; Filipina dan Vietnam). Dari hasil diskusi dengan mereka, diksi kata ‘oknum’ hanya dikenal oleh beberapa orang, terutama dari teman-teman yang berlatar belakang patrimonial dari negara berkembang. Kata ‘oknum’ asing bagi orang-orang dari negara maju yang berpikir rasional dan sistematis.
Saya pun semakin meyakini bahwa, sejatinya tidak pernah ada ‘oknum’. Kata tersebut hanyalah penggambaran abstrak yang menjadi mitos khas Indonesia, yang sialnya dipelihara oleh pemerintah, terutama oleh pemerintah kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah otoriter guna menutupi bobroknya sistem hukum dan birokrasi mereka.
Indonesia sudah lepas dan merdeka dari kungkungan sistem otoriter lebih dari 15 tahun lamanya, namun mitos ‘oknum’ sebagai apologi masih tetap sering dipergunakan. Sungguh suatu paradigma yang sesat dan berbahaya.
Dalam konteks ini, ada beberapa teori-teori sosial modern yang dapat digunakan untuk mencandra fenomena ‘oknum’ tersebut. Behavioral studies (studi tentang prilaku) sebagai salah satu cabang dari antropologi, misalnya dapat menjelaskan bahwa pErilaku seorang individu dapat berperan penting dalam pembentukan etos kerja suatu komunitas dan sistem sosial. Semisal dalam konteks masyakarat tribal (adat) yang mana peran kepala adat sangat dominan di masyarakat. Pemimpin adat mampu menggiring perilaku masyarakat secara kolektif. Hal ini mungkin terkesan baik sebagai self-social control. Namun ada pula bahaya yang mengancam bila tokoh panutan tersebut memanfaatkan kuasanya untuk tujuan-tujuan pribadi atau golongannya sendiri. Pendekatan ini juga cenderung menegasi potensi-potensi individual dalam komunitas.
Teori ini terkesan cocok menggambarkan paradigma masyarakat Indonesia yang komunal, family-minded dan konon katanya berbudi luhur ini. Saking luhurnya masyarakat Indonesia cenderung permisif terhadap kesalahan. Ambillah contoh ketika ada pelanggaran dalam struktur sosial kemasyarakatan, pendekatan yang digunakan adalah perdamaian yang diyakini dapat melebur semua dosa-dosa pelaku dan masyarakat luas. Saya tidak serta merta menyatakan perdamaian adalah kesalahan, namun praktik tersebut juga dapat membuka celah terhadap praktik impunitas.
Guna menyeimbangkan diskursus, perlu dipaparkan teori atau pendekatan lain, semisal institutional approach. Pendekatan ini memaknai bahwa inti dari masyarakat adalah institusi. Institusi yang dimaksud adalah institusi yang dibangun dengan sistem hukum yang objektif yakni sistem hukum negara. Titik tekan law and order bukan pada masyarakat atau pada perilaku panutan, namun lebih pada sistem hukum objektif.
Dalam hal ini posisi saya tidak hitam-putih, saya juga menginsyafi peran besar kearifan lokal dalam proses demokratisasi dan pembangunan Indonesia. Namun kita juga harus jeli memilah, nilai-nilai mana yang perlu dipertahankan dan dilestarikan, dan nilai mana yang harus diperbaiki. Dalam konteks pembangunan Indonesia, proses sintesis budaya perlu dilakukan.
Dengan menggunakan pendekatan institusi ketimbang perilaku, kita jelas dapat melihat bahwa masalah sebenarnya bukan terletak pada ‘oknum’ tapi lebih pada sistem. Kita harus berhenti memahami kejahatan korupsi dari narasi ‘oknum’ di atas. Namun harus memahaminya lewat optik yang lebih objektif dan rasional, bahwa sistem institusilah yang harus lebih dulu dibenahi, sembari kembali merekayasa nilai-nilai normatif di masyarakat.
Evolusi cara berpikir perlu terus digalakkan. Jangan sampai nanti kita menjawab pertanyaan kritis anak-cucu kita dengan jawaban, "Tenang Nak, itu hanya oknum."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H