Awal tahun 2015, publik disuguhkan bermacam kejadian mengejutkan sekaligus kontroversial. Kejadian-kejadian tersebut terjadi baik dalam level nasional maupun internasional. Walaupun berada dalam konteks yang relatif berbeda, kejadian-kejadian tersebut memiliki titik temu yang sama.
Kejadian pertama adalah sikap tegas organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama (NU) yang memperbolehkan jamaah shalat jumat melakukan interupsi terhadap khutbah shalat jumat yang disinyalir bermateri propaganda, hasutan kebencian, anti-toleransi dan melenceng dari semangat Islam yang rahmatan lil’alamin (Tempo, 2014). Kebijakan yang serupa juga diambil oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Organisasi tersebut menganjurkan jamaah untuk melakukan interupsi bila dirasa ada kesalahan dan kejanggalan dalam materi khutbah, namun tentu interupsi harus dilakukan dengan cara yang sopan dan beradab (Republika, 2014).
Kejadian kedua tidak berselang beberapa lama, terjadi di ibu kota Perancis, Paris. Kantor majalah Charlie Hebdo diserang oleh sekelompok ekstrimis. 12 orang dikabarkan meninggal dunia dan 10 orang mengalami cedera fisik dan psikis. Korban terbanyak adalah para kartunis dan jurnalis (Antaranews, 2014). Charlie Hebdo merupakan majalah sarkastik Perancis yang kerap memancing kontroversi, akibat keberanian mereka melakukan kritik terhadap para pemuka dan simbol-simbol keagamaan. Definisi kritik dan penghinaan menjadi sumir ketika majalah tersebut dalam beberapa edisi berani menggambarkan dan mengolok-olok sosok Nabi Muhammad SAW. Pengolokan terhadap simbol Islam diatas bukan yang pertama terjadi. Tahun 2005, koran Denmark Jyllands Posten telah melakukan hal yang sama. Umat Muslim seluruh dunia pun meradang. Titik ekstrimnya adalah kejadian diatas.
Dua kejadian diatas dapat dihubungkan dengan satu konsep, yaitu kebebasan berpendapat (freedom of speech). Kejadian pertama, interupsi khutbah jumat merupakan perwujudan dari kebebasan berpendapat, sekaligus juga sebagai penangkal dari maraknya penyebaran syiar-syiar kebencian (hate speeches) berbasis agama yang kerap terjadi akhir-akhir ini. Kejadian kedua, penghinaan terhadap simbol-simbol keagamaan dapat dianggap sebagai friksi negatif dari kebebasan berpendapat itu sendiri. Dalam kedua konteks diatas, kebebasan berpendapat terlihat paradoksal. Guna memahami isu diatas secara komprehensif, telaah terhadap konsep kebebasan berpendapat perlu ditelaah dalam optik Hak Asasi Manusa (HAM).
Dua Wajah HAM
Kebebasan berpendapat dianggap sebagai salah satu pilar terpenting dari HAM. Pengalaman buruk beberapa negara yang dulu pernah terbelunggu dalam rejim totaliter dan otoriter, menjadi justifikasi utama pentingnya pengaturan internasional terhadap kebebasan berpendapat. Instrumen hukum internasional terpenting dalam HAM dan kebebasan berpendapat pada khususnya adalah Deklarasi HAM Sedunia, yang kemudian dikonkritkan dalam Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Hampir semua substansi penting ICCPR sudah diratifikasi oleh Indonesia lewat UU No 12/2005. Kebebasan berpendapat bahkan menjadi salah satu norma konstitusi dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Namun implementasi kebebasan berpendapat tetap dirasa problematik.
Kebebasan berpendapat sebagai wujud ekspresi akal dan budi manusia dapat tergelincir pada perbuatan tercela semisal penghinaan dan juga penyebaran syiar-syiar kebencian. Sebagaimana dicontohkan pada kasus khutbah jumat provokatif diatas. Khutbah jumat sebagai manifestasi ajaran Islam dapat diselewengkan menjadi alat provokasi dan doktrinisasi nilai-nilai kebencian terhadap suatu kaum atau golongan. Dalam khutbah jumat sendiri tersirat nilai pendapat pribadi sang khatib, yang dibungkus sedemikian rupa dengan dalil-dalil agama. Sebagai sebuah hak tentu pendapat sang khatib patut dihormati, namun hak pribadi seseorang untuk mengekpresikan pendapatnya juga perlu mendapat pembatasan. Adagium universal dalam pembelajaran HAM adalah “batasan dari hak adalah hak orang lain.”
Kebebasan berpendapat merupakan salah satu wujud HAM yang bersifat negatif atau pasif yang berarti negara dituntut untuk memberi kebebasan kepada warga negara untuk mengekspresikan pikiran dan pendapatnya. Namun bila kebebasan pendapat tersebut mengancam atau mencederai hak orang atau golongan lain, semisal menyebarkan syiar-syiar kebencian yang dapat berpotensi mengganggu ketertiban umum, maka negara harus aktif menindak perilaku tersebut. Filsuf Immanuel Kant (1784) menganjurkan negara untuk aktif namun arif dalam mengawasi kebebasan berpendapat. Negara dituntut untuk menjaga keseimbangan dalam berperan aktif maupun pasif dalam mengawasi kebebasan berpendapat.
Secara umum, Hak Sipil dan Politik sendiri terbagi atas dua kategori, yakni hak-hak yang tidak dapat dibatasi dan bersifat absolut (non-derogable rights), semisal hak untuk hidup dan hak mendapat keamanan. Sedangkan kebebasan berpendapat termasuk dalam kategori hak yang dapat dibatasi (derogable rights).
Dalam kasus penyerangan kantor Charlie Hebdo diatas, jelas penyerangan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang tidaklah bisa dibenarkan, karena hal tersebut merupakan wujud pengingkaran terhadap hak untuk hidup yang merupakan hak yang tidak dapat dibatasi. Lebih parah dan kontra-produktif bila penyerangan tersebut mengatas namakan Islam. Alih-alih membela Islam dan Nabi Muhammad SAW, kasus penyerangan tersebut menjadi noktah hitam bagi umat Muslim diseluruh dunia.
Disisi lain, kebebasan berpendapat di Perancis dan dunia Barat pada umumnya perlu dikritisi. Kritik terhadap penerapan norma agama atau prilaku kontradiktif umat beragama memang perlu dilakukan bahkan diajurkan sebagaimana dicontohkan dalam kasus khutbah jumat diatas. Namun adalah sesat bila menyumirkan kritik dengan penghinaan. Simbol agama sebagai nilai sakral umat beragama wajib untuk tetap dilindungi sebagai manifestasi dari prinsip kebebasan beragama dan guna menjaga toleransi antar umat beragama. Dalam konteks ini, perlu direnungkan pernyataan dari filsus Edmund Burke (1729-1797), “kebebasan yang digunakan tanpa memperdulikan nilai-nilai kearifan akan memunculkan jenis kejahatan terburuk.”
Walhasil, peristiwa terror di Perancis dapat menjadi pelajaran bagi umat beragama di Indonesia. Agama sejatinya bertujuan untuk melatih kesabaran dan melembutkan hati bukan untuk mengeraskan hati. Beragama itu merawat cinta kasih bukan untuk menyemai kebencian. Beragama juga bertujuan untuk menumbuhkan empati bukan saling curiga. Terkadang Kesabaran memang harus diuji lewat hinaan, cacian dan pelecehan, namun umat beragama tetap dituntut untuk bersabar dan tidak reaktif. Karena bagaimanapun kesabaran dalam beragama bukanlah sebatas wacana, namun suatu tindakan konkrit. Semoga umat beragama dan umat Muslim pada khususnya dapat selalu mengingat syair suci Al-Quran, “sungguh Allah bersama orang-orang yang sabar” (Al-Baqarah: 153).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H