Presiden Jokowi sudah melantik Jaksa Agung baru, M. Prasetyo menggantikan Pelaksana Tugas Jaksa Agung, Andri Nirwanto. Pengangkatan Jaksa Agung merupakan kewenangan mutlak Presiden, sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 19 Ayat 2, Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Namun tidak pelak, pengangkatan Jaksa Agung tersebut menuai kontroversi dan kritik, terutama dari lembaga-lembaga civil society yang bergerak dibidang pengawasan peradilan dan Hak Asasi Manusia (HAM). Presiden Jokowi dianggap tidak memenuhi aspirasi masyarakat yang mendambakan sosok Jaksa Agung yang merdeka dari unsur partai politik. Pengangkatan M. Prasetyo yang merupakan politisi Partai Nasdem dan anggota DPR terpilih, dianggap mencederai marwah kejaksaan sebagai salah satu instrumen terpenting dalam ranah penegakan hukum dan kekuasaan kehakiman.
Kejaksaan implisit disebut dalam Bab Kekuasaan Kehakiman UUD 1945. Pasal 24 Ayat 3 memberi kebebasan tafsir kepada DPR untuk merancang UU Kejaksaan. Secara struktural, Kejaksaan berada dibawah kekuasaan eksekutif yang memiliki tugas utama untuk melakukan penuntutan atas nama negara. Posisi dan kewenangan ini merupakan konsekwensi logis dari pilihan sistem presidensil. Walaupun sebenarnya tugas dan wewenang Kejaksaan lebih luas dan strategis dari sekedar penuntutan. Disebutkan dalam Pasal 30 dan 35, UU tentang Kejaksaan, kewenangan Kejaksaan dapat dirangkum meliputi: penyelidikan tindak pidana tertentu berdasarkan UU, pelaksanaan penetapan hakim dan/atau putusan hakim yang telah memperoleh kekuasan hukum tetap, mengajukan kasasi demi kepentingan hukum dan mengefektifkan proses penegakan hukum.
Struktur Kejaksaan dibawah eksekutif pernah ‘diganggu’ oleh DPR dengan mengusulkan rancangan revisi UU Kejaksaan pada tahun 2012 silam. DPR mengusulkan Jaksa Agung diangkat oleh Presiden, namun harus mendapat persetujuan terlebih dahulu oleh DPR dalam suatu mekanisme fit and proper test. Kedua sistem tidaklah sempurna, karena keduanya tetap membuka celah intervensi dan pengaruh politis baik oleh DPR maupun Presiden kepada Kejaksaan. Karena sebab yang tidak diketahui, rancangan revisi UU Kejaksaan tersebut tertunda sampai sekarang, dan baik buruknya sosok Jaksa Agung kembali diserahkan pada itikad baik Presiden.
UU tidak melarang Presiden untuk mengangkat Jaksa Agung dengan latar belakang politisi. Pasal 11 dan 21, UU tentang Kejaksaan hanya membatasi Jaksa Agung tidak boleh merangkap jabatan sebagat advokat, pengusaha dan pengurus/karyawan BUMN/BUMD dan Swasta. Namun hukum tidak semata mengacu pada teks-teks UU. Etika, nilai-nilai kepatutan dan moralitas hukum harus menjadi pertimbangan utama dalam proses pengangkatan Jaksa Agung. Presiden Jokowi dituntut untuk memiliki nalar hukum dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang berdampak signifikan terhadap institusi penegakan hukum.
Nalar hukum
Filsuf Jerman Immanuel Kant mengingatkan tentang betapa pentingnya peranan hukum dalam konteks bernegara. Beliau mengatakan; “hukum harus berada diatas segala-galanya, dan tidak boleh ada orang yang lebih tinggi dari hukum itu sendiri.” Adagium inilah yang mendasari prinsip negara hukum (the rule of law). Prinsip dan idealisme hukum ini sebenarnya sudah diakomodir dalam Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945. Berkomitmen untuk menjadi negara hukum patut diapresiasi, namun tantangan tersulit adalah untuk mewujudkan idealisme tersebut.
Hukum dan politik saling berkelindan dalam pemerintahan. Prinsip demokrasi menjadi penting dalam suatu negara hukum, karena perlunya partisipasi masyarakat dan perwakilan dalam lembaga parlemen atau legislatif. Hukum dan politik berbagi peran dalam menjalankan roda pemerintahan. Dalam ranah politik murni, Presiden dan anggota dewan dapat ‘bertarung’ secara terbuka untuk mengedapankan kebijakan (dan juga kepentingan) mereka. Namun dalam setiap dinamika perpolitikan, harus selalu dibayangi oleh mekanisme kontrol dan prosedur hukum.
Peran lembaga penegakan hukum sebagai ‘bayangan’ menjadi sangat signifikan. Oleh karena itu diperlukan suatu mekanisme penegakan hukum yang merdeka dari segala kepentingan politik. Kejaksaan diampu sebagai pembawa ‘pedang keadilan’ dengan kewenangan strategis menuntut atas nama Negara. Kejaksaan tidak lepas dari keharusan untuk merdeka dari kepentingan politik. Posisi dan peran Kejaksaan jelas berbeda dengan menteri-menteri yang ditunjuk dan bertugas menjalankan segala kebijakan dan arahan Presiden.
Dalam masa gelap rezim otoritarian, kekuasaan kehakiman pada umumnya dan Kejaksaan pada khususnya terbelunggu dalam kooptasi hegemoni eksekutif yang membuat kekuasaan kehakiman dan penegakan hukum tidak efektif dan terkesan ‘mandul’. Kelemahan sektor penegakan hukum tersebut yang menjadi rasio utama pembentukan lembaga hukum baru, semisal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Pembentukan KPK tidak serta merta menegasikan peran penting Kejaksaan. Malah memperkuat sekaligus memperingan kerja Kejaksaan. Kejaksaan setidaknya memiliki tiga tugas suci yang jangkauannya lebih makro ketimbang KPK, yakni: sebagai lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi, bahu-membahu bersama KPK, penyelesaian kasus-kasus HAM, dan yang terpenting adalah perang melawan mafia peradilan (judicial corruption) yang sudah menjadi rahasia umum lama bersarang dalam tubuh lembaga penegakan hukum. Seperti yang disebut oleh penulis terkenal, Mochtar Lubis, “perang yang terberat adalah perang melawan diri sendiri.”
Presiden Jokowi seharusnya mempertimbangkan dengan matang sebelum mengangkat Jaksa Agung dengan latar belakang politisi, karena kebijakan tersebut dapat mengurangi marwah penegakan hukum di Indonesia. Presiden seharusnya belajar dari pengalaman pembusukan politik (political decay) di dalam tubuh MK. Belum lekang dalam ingatan, mantan Ketua MK Akil Muchtar, yang juga mantan politisi tertangkap sedang melakukan siasat jahat dengan pihak-pihak berperkara. Pembusukan politik dalam wilayah penegakan hukum dapat diambil dari pengalaman negeri tetangga, semisal Thailand. Dressel (2014) menggambarkan bagaimana bobroknya institusi penegakan hukum di Thailand yang terkooptasi oleh kepentingan politik dan ekonomi. Lewat beberapa pengalaman tersebut, tidaklah salah berprasangka dengan politisi yang masuk ranah penegakan hukum, bahwa mereka sedikit banyaknya memiliki potensi akan konflik kepentingan. Kita tentunya tidak ingin kembali mengulang sejarah kelam rezim otoritarian.
Akhirnya, Presiden Jokowi yang terpilih dalam Pemilu Presiden paling partisipatif di Indonesia, dengan citra sebagai pemimpin yang progresif dan populis, tidaklah kebal dari kemungkinan salah langkah. Mengangkat politisi sebagai Jaksa Agung, bisa bertanda ‘lampu kuning’ bagi pemerintahan Presiden Jokowi yang masih seumur jagung. Memang terlalu prematur untuk menilai kinerja Jaksa Agung terpilih. Evaluasi dan kritik perlu terus didengungkan secara objektif dengan menilai kinerja berdasar fakta dan data. Adalah tugas kita sebagai warga negara untuk selalu mengingatkan dan melakukan kritik-konstruktif terhadap segala kebijakan pemerintah. Tokoh aktifis HAM Myanmar, Ang San Suu Kyi, pernah berkata; “pemerintah tidak bisa dilecut dengan pujian dan optimisme berlebihan, karena pujian dan optimisme cenderung melenakan.” Dalam dinamika bernegara, diperlukan keseimbangan antara optimisme dan pesimisme, antara pujian dan hujatan. Semoga ekspresi pesimisme dan kritik, dibalas dengan kerja keras mati-matian oleh Jaksa Agung terpilih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H