Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertekad untuk menjadikan tahun 2016 sebagai tahun percepatan pembangunan. Langkah progresif dimulai dengan melakukan lelang dini proyek infrastruktur. Ada sekitar 1.026 paket infrastruktur pemerintah senilai Rp 25,8 triliun yang akan mulai dieksekusi pada tahun ini. Salah satu proyek infrastruktur yang akan dibantu oleh investor dari Rusia adalah proyek pembangunan rel kerata api (Trans Kalimantan) di pulau Kalimantan. Nantinya Trans Kalimantan akan melayani rute Tanjung – Paringin – Barabai – Kandangan – Rantau – Martapura – Banjarbaru - Bandara Syamsudin Noor - Banjarmasin sepanjang 196,27 kilometer (JPNN, 8/1/2016). Selain itu, jalur selatan, sepanjang 203 kilometer menghubungkan Kutai Barat hingga Kawasan Industri Buluminung (KIB). Jalur utara dibangun sepanjang 195 kilometer, diawali dari Tabang, Kutai Kartanegara, menuju Kawasan Ekonomi Khusus Maloy Batuta di Kutai Timur (Kompas, 9/1/2016).
Langkah tersebut tentu layak diapresiasi sebagai wujud perhatian pemerintah pusat terhadap sektor pembangunan infrastruktur di Kalimantan, yang sudah sangat tertinggal jauh dan cenderung diabaikan selama beberapa tahun terakhir. Namun rencana pembangunan infrastruktur tersebut bukan tanpa cela. Pembangunan akan selalu menjadi pisau bermata ganda. Dikhawatirkan alih-alih dapat meningkatkan pembangunan ekonomi masyarakat sekitar, pembangunan yang tidak memperhatikan aspek pemenuhan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat sekitar dapat semakin memperbesar jurang kesenjangan sosial dan ekonomi di masyarakat. World Bank (2015), sudah mewanti-wanti akan dampak dari ‘kutukan pembangunan’ tersebut.
Kalimantan bukanlah locus baru bagi proyek-proyek ekstraktif pemerintah. Narasi pembangunan di Kalimantan tidak pernah lepas dari kisah pemenuhan nafsu kapitalistik untuk mengeruk sebanyak-banyaknya sumber daya alam Kalimantan, sembari tetap abai terhadap pemenuhan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat sekitar. Adalah fakta yang mudah dilihat disekitar kawasan-kawasan industri ekstraktif di Kalimantan, semisal di wilayah Tanah Bumbu, Kotabaru dan kawasan Hulu Sungai masih banyak terlihat kelompok-kelompok masyarakat marjinal yang kerap terkena dampak negatif dari ‘pembangunan’, semisal semakin buruknya kesehatan warga, rusaknya ekosistem alam dan tergerusnya nilai-nilai kearifan lokal digantikan dengan kultur materialitistik dan konsumerisme yang deskruktif.
Selain itu, masih segar dalam ingatan kolektif masyarakat Kalimantan bagaimana nelangsanya terpuruk oleh bencana kabut asap beberapa bulan lalu. Bencana yang terjadi bukan atas kehendak alam, namun merupakan hasil akumulasi kegagalan pemerintah dalam mengelola alam dan ketamakan segelintir kelompok yang sayangnya diafirmasi oleh kebijakan pemerintah pusat maupun daerah. Sebagai contoh, mega proyek lahan gambut sejuta hektar yang digagas oleh pemerintah Orde Baru pada tahun 1997 gagal memenuhi ekpektasi publik akan ketersedian lahan pertanian yang subuh, malah menjadi sumber utama kebakaran lahan gambut. Proyek gagal tersebut juga diperparah dengan buruknya perencanaan tata ruang daerah dimana proyek perkebunan kepala sawit (Hutan Tananam Industri/HTI) dan pertambangan sering tumbang tindih dengan kawasan hutan lindung, hutan konservasi dan hutan adat.
Era reformasi dan desentralisasi alih-alih memberi secercah harapan, malah hanya menggeser bandul kekuasaan dari pusat ke ‘raja-raja kecil’ di wilayah kabupaten-kabupaten yang kaya akan hasil alam. Tidak berlebihan jika Bakker (2010) menyebut masa awal reformasi dan desentralisasi sebagai era oligarki kebun sawit di Sumatera dan Kalimantan. Belajar dari pengalaman-pengalam diatas, kita harus terus bertanya kritis, ‘pembangunan’ tersebut dibuat untuk kepentingan siapa? Karena dalam prakteknya ‘pembangunan’ tidak selalu mensejahterakan.
Sama halnya dengan proyek infrastruktur rel kerata api trans Kalimantan, publik perlu bertanya kritis. Apakah pembangunan tersebut diperuntukan sebagai sarana mobilisasi dan konektifitas antar daerah-daerah di Kalimantan? Ataukan hanya sebagai lajur lintas transportasi pengangkutan hasil-hasil alam Kalimantan, yang alih-alih memberi dampak dan efek langsung ke masyarakat, malah mempercepat proses ekstraksi sumber daya alam di Kalimantan? Lewat analisa sederhana berdasarkan pada rencana jalur atau rute yang akan dilewati oleh jalur kereta api tersebut, sulit untuk mengabaikan hipotesis bahwa peruntukan proyek rel kerata api tersebut semata hanya diperuntukkan untuk kepentingan transportasi pengakutan hasil-hasil alam Kalimantan.
Pembangunan inklusif
Pembacaan terhadap paradigma pemerintah tergambar pada goresan pena mimpi-mimpi Presiden Jokowi pada acara peletakan Kapsul Mimpi pada akhir tahun silam (Antara, 30/12/2015). Mimpi-mimpi Presiden Jokowi tersebut juga dapat dibaca sebagai visi pemerintah, karena tidak bisa dinafikan dalam sistem presidensil, presiden memiliki kewenangan yang besar sebagai pengambil kebijakan utama (the main administrator). Dalam daftar mimpi-mimpi Presiden tidak tercantum satu kalimat pun yang membahas tentang politik hukum lingkungan, pemenuhan hak-hak asasi manusia dan keadilan ekologis. Mimpi-mimpi hanya terbatas pada pemenuhan derajat pertumbuhan ekonomi semata, yang tentunya akan diterjemahkan lewat percepatan pembangunan ekonomi berbasis kuantitas yang semata merujuk pada besaran nilai produksi Gross National Product (GNP), dan cenderung abai pada ikhtiar untuk menjembatani jurang kesenjangan sosial dan ekonomi yang semakin tajam. Presiden Jokowi memang berniat untuk kembali menjadikan ekonomi berbasis produksi sebagai ‘panglima’ dinegeri ini.
Pembangunan yang bersifat monumental dan ‘mercusuar’ tersebut terlihat kokoh dan meyakinkan diluar, namun sejatinya keropos didalam. Hal tersebut dikarenakan pembangunan hanya menjadi semacam dogma yang miskin akan nilai dan empati terhadap proses pemberdayaan masyarakat sekitar. Pembangunan akan menjadi semacam ‘tapal batas’ antara kuasa pemerintah yang berkelindan dengan kepentingan perusahaan-perusahaan dengan masyarakat. Skema pembangunan seperti ini akan menempatkan masyarakat semata sebagai obyek pembangunan, bukan subyek dinamis pembangunan. Skema pembangunan tersebut akan semakin berbahaya bila disandingkan dengan realitas politik lokal yang masih terjangkit virus money politic, dimana ironisnya para pemangku jabatan lahir dan terpelihara dalam rahim kapitalisme. Siklus evolusi pengusaha menjadi penguasa dan vice versa pun menjadi sempurna.
Paradigma ‘pembangunan’ tersebut sebenarnya sudah lama ditinggalkan oleh beberapa negara-negara maju. Atas respon terhadap konvensi-konvensi internasional yang mengatur tentang hak-hak sosial dan ekonomi, negara-negara maju lebih berorientasi pada cita-cita negara kesejahteraan (welfare state) dengan mencoba mencari keseimbangan (equilibrium) antara kuantitas pertumbuhan ekonomi dengan kualitas kehidupan masyarakat dan lingkungan. Terbukti, keduanya dapat berjalan beriringan dengan menciptakan skema pembangunan yang inklusif dan menjunjung tinggi keadilan ekologis (Crouch, 1998).
Adalah tantangan nyata bagi pemerintah Indonesia dan Kalimantan pada khususnya untuk menciptakan iklim pembangunan yang inklusif dan subtansial. Indonesia sudah banyak melakukan ratifikasi dan adopsi terhadap konvensi-konvensi international terkait pembangunan berdasar pada pemenuhan hak-hak asasi manusia dan keadilan ekologis, namun sampai saat ini lembaran norma hukum tersebut masih sebatas ‘macan kertas’. Diperlukan ikhtiar lebih oleh penggiat civil society dan jajaran pemerintah untuk mencanangkan proyek pembangunan inklusif di tanah Kalimantan. Sebagai refleksi bersama, dalam salah satu lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya, mengisyaratkan cita-cita luhur pendiri bangsa: “ bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya ”. Sejatinya, pembangunan ‘jiwa’ harus lebih diutamakan dari pembangunan ‘badan’ (fisik). Semoga kita belum terlambat untuk merealisasikan cita-cita luhur tersebut.