Senin petang (15/12), publik Australia dikejutkan dengan aksi penyanderaan di Lindt Chocolate Cafe di kota Sydney. Penyanderaan dilakukan oleh ekstrimis kelahiran Iran yang kemudian diketahui bernama Man Haron Monis. Tiga orang meninggal dunia, termasuk sang penyandera. Manager Cafe, Tori Johnson termasuk salah satu korban. Ironisnya, salah satu korban adalah seorang ibu dan juga seorang pengacara (barrister) bernama Katrina Dowson.
Kejadian tersebut menambah noktah hitam aksi-aksi serangan terorisme di wilayah yurisdiksi negara-negara Barat. Kejadian tersebut tentu berimplikasi besar terhadap relasi Muslim dan non-Muslim di negara-negara Barat. Lebih krusial, peristiwa tersebut juga akan berimplikasi pada persepsi masyarakat internasional terhadap komunitas Muslim dan juga terhadap ajaran Islam.
Dalam tiga tahun terakhir, aksi-aksi terorisme yang mencatut nama Islam kerap terjadi di negara Barat. Salah satunya adalah aksi pemenggalan kepala seorang prajurit Inggris di London selatan medio 2013 silam (Tribunnews, 2013). Kejadian tersebut berdampak luas keseluruh dunia, terutama dinegara-negara dimana Muslim sebagai minoritas. Walau tidak dibalas dengan kekerasaan fisik, namun Islamophobia pelan namun pasti mulai menjalar di Australia.
Aksi lanjutan terjadi setahun kemudian ketika pergerakan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) menarik perhatian media, lewat aksi kekerasaan dan pemberontakan yang mereka lakukan. Umat Muslim minoritas tidak pelak menjadi korban dari aksi barbar ISIS tersebut. Komunitas Muslim Indonesia di kota Brisbane menjadi salah satu korbannya. Bangunan Islamic Centre yang diperuntukkan sebagai tempat shalat berjamaah, ceramah agama dan berbuka puasa dirusak oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab (ABC, 2014).
Dalam menyikapi aksi rasisme dan Islamophobia, pemerintah negara bagian Queensland dan kepolisian kota Brisbane bertindak cepat dan efektif. Dalam waktu 24 jam setelah pelaporan, bangunan Islamic Centre diperbaiki oleh pemerintah daerah dan pelaku pengrusakan berhasil diringkus dalam waktu cepat.
Kembali ke isu utama penyanderaan di Sydney. Alih-alih marah dan berang terhadap komunitas Muslim di Australia, mayoritas masyarakat Australia tidak reaktif terhadap peristiwa tersebut bahkan menunjukkan empati terhadap warga Muslim minoritas. Dalam dunia maya twitter, tanda pagar (hashtag) illridewithyou menjadi trending topic. Mayoritas masyarakat Australia menggalang gerakan sosial untuk melindungi komunitas minoritas Muslim di Australia. Mereka memberi bantuan perlindungan secara suka rela bagi warga Muslim yang takut mendapatkan diskriminasi selama perjalanan lewat transportasi publik.
Australia sudah memberi contoh yang benar dalam melawan aksi terorisme (counterterrorism) dan juga dalam memperlakukan warga minoritas. Aksi tidak semata dengan turun tangannya negara dalam melindungi minoritas, namun mayoritas masyarakat Australia sudah terdidik untuk tidak mudah terhasut, dan reaktif terhadap aksi terorisme. Dalam konteks ini, perlu kiranya Indonesia belajar dari Australia dalam menjalankan paradigma mayoritas.
Paradigma Mayoritas
Paradigma memainkan peran penting dalam bernegara. Paradigma memiliki nilai etis dan moral yang disalurkan lewat kebijakan, arahan dan tindakan kepada warga negara. Diperlukan suatu proses internalisasi dalam lingkup pergaulan masyarakat guna menyalurkan paradigm positif kepada masyarakat. Peran pemimpin (baik formal maupun informal) menjadi sangat signifikan dalam mengarahkan warga negara menuju masyarakat yang madani.
Dalam konteks Indonesia, paradigma mayoritas seharusnya dimiliki oleh mayoritas penganut agama Islam. Kita patut berbangga, karena dalam aspek kuantitas Indonesia adalah negara dengan populasi penganut Islam terbesar didunia. Namun dalam aspek kualitas, kita perlu melakukan introspeksi.
Paradigma mayoritas setidaknya dapat disalurkan dalam beberapa aspek. Pertama, pemerintah sebagai administrator negara harus menunjukkan keberpihakan yang jelas dan tegas dalam menyikapi aksi-aksi terorisme dan juga diskriminasi terhadap minoritas. Persatuan Indonesia yang dirajut dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika harus kembali digairahkan. Bagi umat Muslim komitmen bernegara dan berbangsa (nasionalisme) merupakan salah satu substansi keimanan dalam Islam (hubbub al-wathon minal iman).
Pemerintah sudah memiliki ‘amunisi’ dalam memerangi terorisme yakni dengan UU Anti-Terorisme (UU No 15/2003 dan UU No 9/2003) yang tidak saja berdimensi represif-kuratif (pemberantasan), namun juga mengedepankan aspek preventif (pencegahan). Yang masih dirasa kurang adalah implementasi atau aksi nyata dari UU tersebut.
Kedua, kekuatan civil society perlu diperkuat untuk menjadi basis semangat bertoleransi. Kalimat afirmasi yang mengatakan bahwa keindahan ajaran Islam tertutupi oleh prilaku Muslim (al-islaamu mahjuubun bil muslimin) sudah manifes dalam konteks kekinian. Substansi ajaran Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin, tertutupi oleh isu-isu remeh-temeh yang mudah di ‘goreng’ sebagai jajanan politik. Untuk melawan fenomena tersebut, kelompok Islam moderat harus berhenti berpangku tangan. Mereka kembali harus aktif bergerak memberi pencerahan dan pengarahan yang benar kepada umat. Sudah saatnya para santri dan sarjana ilmu agama Islam yang memiliki keilmuan mumpuni dalam hukum Islam ‘turun gunung’ menjadi ustadz dan penceramah dikampung-kampung. Kehadiran meraka dapat mengimbangi ustadz-ustadz gadungan (yang tidak jelas akar keilmuannya) yang kerap mengajarkan semangat subversif terhadap negara. Islam moderat harus berhenti menjadi silent majority. Saatnya bangkit melawan golongan out-spoken minority yang aktif melakukan kekerasan dan diskriminasi dengan mengatas namakan Islam.
Idealnya, semangat Islam jangan hanya terhenti pada aspek peribadahat semata, namun lebih substansial masuk kedalam ranah aplikatif. Islam memiliki tujuan mulia untuk memuliakan akhlak manusia. Masyarakat butuh Muslim yang berakhlak, bukan semata Muslim yang berlagak alim dan sholeh. Yang kita butuhkan adalah ‘isi’ dan aplikasi dari ajaran Islam tersebut.
Ketiga, person to person approach perlu digalakkan. Sudah saatnya kita, Muslim mayoritas di Indonesia berhenti berprasangka buruk terhadap warga non-Muslim. Tidak bisa dinafikan, fanatisme beragama manifes disemua agama baik mayoritas maupun minoritas. Namun jangan terlalu mudah melakukan generalisasi. Alih-alih membenci, mulailah kita untuk berempati kepada mereka. Menjadi minoritas tidaklah mudah. Perlu diingat bahwa mungkin di Indonesia, Muslim adalah mayoritas, namun dibeberapa negara lain kita adalah minoritas. Berempati sembari memupuk rasa toleransi tidaklah mengurangi wibawa umat Muslim, malah sebaliknya menambah marwah umat Muslim sebagai mayoritas yang berakhlak mulia.
Paradigma mayoritas dan toleransi beragama secara normatif sebenarnya sudah diajarkan oleh Islam, baik lewat teks-teks Al-Quran, hadist dan juga lewat doktrin-doktrin dari para ulama dan sahabat Nabi. Sayyidina Ali bin Abu Thalib pernah berkata: “mereka yang bukan saudara mu dalam beragama, adalah saudara mu dalam kemanusiaan.” Semoga kita dapat meresapi maknanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H