Menarik membaca pemaparan hasil Seminar Eksitensi Hutan Adat di Kalimantan Selatan (Kalsel) yang diselenggarakan oleh Mapala Justitia di Kampus Fakultas Hukum Unlam (Banjarmasin Post, 20/04/2015). Wacana pengakuan masyarakat adat yang berimplikasi pada isu strategis dan sensitif terhadap pengakuan tanah/hutan adat, bukanlah wacana yang baru. Wacana ini telah lama mengemuka beriringan dengan keberhasilan perjuangan advokasi lembaga masyarakat adat internasional dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tonggak sejarahnya adalah dengan diadopsinya Deklarasi tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) pada tahun 2007 silam.
Dalam konteks Indonesia, perjuangan masyarakat adat terhadap hegemoni sentralistik hukum negara terbayar dengan dikabulkannya sebagian permohonan uji materiil Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) lewat Putusan Nomor 35/PUU-X/2012 (MK 35). MK telah memberi tafsir baru terhadap frasa “hutan adat” sebagai “hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Dalam artian, “hukum adat” bukan lagi bagian dari “hutan negara”, melainkan bagian dari “hutan hak”.
Namun MK 35 tidak serta merta merubah sekejap kebijakan pemerintah. MK hanya berwenang menguji norma undang-undang terhadap konstitusi dan tidak memiliki daya eksekutor maupun intervensi dalam ranah kebijakan pemerintah. Karenanya membumikan MK 35 ke akar rumput masih memerlukan ikhtiar bersama.
Ikhtiar mengimplementasikan MK 35 tersirat dalam hasil seminar diatas dimana salah satu narasumber menyebutkan bahwa, luas wilayah hutan adat di Kalsel mencapai 33 ribu hektar. Luas wilayah yang tidak sedikit dan tentu perlu diklarifikasi dengan penelitian lapangan yang komprehensif oleh pihak-pihak yang berkompeten dan terkait. Guna mempermudah ikhtiar pengakuan dan pemenuhan hak masyarakat adat di Kalsel, perlu dipahami kendala-kendala konseptual dan implementatif baik dalam MK 35 maupun dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Membaca Kritis MK 35
Setidaknya ada tiga isu hukum dalam MK 35. Pertama, hubungan antara masyarakat adat dengan tanah/hutan adat mereka. Kedua, identifikasi dan definisi masyarakat adat itu sendiri, dan yang terakhir tentang hak menentukan nasib sendiri (self-determination).
Konsep hukum dan masyarakat adat dipopulerkan oleh dua ahli hukum Belanda, Cornelis van Vollenhoven dan B. Ter Haar. Mereka berdualah yang memberi definisi dan persyaratan masih berlaku tidaknya hukum adat di suatu wilayah adat. Ter Haar (1948) secara spesifik membedakan antara masyarakat adat yang terbentuk secara politik dengan masyarakat adat yang terbentuk secara kultural semata. Hanya kelompok pertama yang disebut adatrechtgemeemschap yang patut untuk direkognisi oleh negara. UUD 1945 mengadopsi konsep tersebut dengan menterjemahkannya menjadi “kesatuan masyarakat hukum adat” (Pasal 18B ayat (2)). Kriteria masyarakat (hukum) adat dibagi menjadi empat unsur, masyarakat adat harus memiliki: (1) perasaan bersama dan terorganisir secara politis; (2) tanah/wilayah adat; (3) lembaga adat (terutama peradilan adat); dan (4) barang materiil maupun non-materiil (spiritual). Kriteria ini juga digunakan dalam UU Kehutanan.
Definisi dan kriteria diatas menjadi sangat penting karena akan mempengaruhi derajat pengakuan hukum. Alih alih memberi ruang kesempatan kepada masyarakat adat untuk mendapat pengakuan, definisi dan kriteria tersebut dapat mendiskriminasi masyarakat adat, yang dianggap kurang memenuhi kriteria diatas. Konsep Ter Haar diatas cenderung Minangkabau-sentris, karena diambil dari konteks masyarakat adat Minangkabau, yang tentu saja dapat berbeda dengan konteks diwilayah lain. Mantan Ketua MK, Jimly Asshidiqqie menyebutkan bahwa kriteria diatas tidak bersifat akumulatif, namun fakultatif (Zakaria, 2012).
Dalam konteks Kalsel, penelitian hukum dan tanah adat di Kabupaten Kotabaru yang dilakukan oleh tim dosen FH Unlam pada tahun 2007 dan 2012 silam menghasilkan kesimpulan adanya indikasi keberadaan masyarakat adat di Kabupaten Kotabaru. Namun konsep masyarakat adat di Kabupeten Kotabaru tersebut tidaklah identik dengan konsep adatrechtgemeemschap diatas. Guna lebih menjamin asas keadilan sosial, pengakuan masyarakat adat harus lebih dititik beratkan pada konteks sosial dan kultural masyarakat adat yang heterogen satu sama lain.
MK 35 bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara aspirasi masyarakat adat dengan kedaulatan negara. Oleh karenanya MK menolak gugatan penggugat untuk menghapus Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 67 ayat (1) dan (2), terutama kalimat “dalam perkembangannya masyarakat adat tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali pada pemerintah”, “sepanjang menurut kenyataannya masih ada” dan “pengukuhan keberadaan dan hapusnya keberadaan masyarakat hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Penolakan MK dapat dipahami sebagai penegasan terhadap arah politik hukum pengakuan masyarakat adat yang tidak bertujuan untuk mengasingkan masyarakat adat dari modernisasi, namun bertujuan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat adat untuk beradaptasi dengan modernisasi (Sodiki, 2012). Hukum adat dimaknai sebagai hukum yang ‘mengalir’ mengikuti zaman. Apabila masyarakat adat masih ditemukan, maka pemerintah berkewajiban untuk mengakui dan memberi kebijakan affirmative action kepada mereka, namun bila masyarakat adat tersebut sudah tergerus oleh zaman perubahan maka hukum negara dapat mengambil peran yang telah ditinggalkan oleh hukum adat. Dalam konteks ini, slogan “menimbulakan batang yang tinggalam” tidaklah bisa dibenarkan.
Kendala implementatif juga masih membayangi proses pengakuan masyarakat dan hutan adat. Proses birokrasi dan politis yang panjang adalah penyebabnya. Hal tersebut terjadi karena ‘masyarakat’ dan ‘hutan’ masih dianggap sebagai entitas yang berbeda dan terpisah, sehingga pengakuannya juga dilakukan terpisah. Pengakuan masyarakat adat dilakukan lewat Peraturan Daerah (Perda) baik provinsi maupun kabupaten, sedangkan pendaftaran tanah/hutan harus melalui proses pendaftaran lewat instansi terkait.
Terlepas dari beberapa kendala konseptual dan implementatif diatas, esensi MK 35 sudah dimasukkan kedalam UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, dimana dalam salah satu Bab nya mengatur tentang Desa Adat. Kriteria masyarakat adat juga lebih longgar dan fleksibel, walaupun masih memakai definisi adatrechtgemeemschap. Masyarakat adat harus memiliki wilayah adat dan setidaknya memiliki salah satu atau gabungan unsur kriteria diatas (Pasal 97 ayat (2)).
Berkaca pada pengalaman Filiphina dalam menyusun Indigenous Peoples’ Rights Act (IPRA) 1997. Proses identifikasi masyarakat adat dan pendaftaran tanah/hutan perlu dilakukan secara komprehensif dengan tetap menimbang aspek kepastian hukum dan keadilan sosial. Filiphina memerlukan waktu lebih dari 15 tahun untuk memetakan wilayah adatnya dan kemudian melegislasi IPRA (Tauli-Corpuz, 2010).
Akhirnya, perjuangan advokasi masyarakat adat hendaknya tidak hanya terpaku pada gerakan civil society semata, namun juga lewat ikhtiar politik lewat jalur legislatif baik nasional (DPR dan DPD) maupun lokal (DPRD Provinsi/Kabupaten). Perwakilan masyarakat adat Kalsel harus berani berkontestasi dalam pemilu legislatif dan pemilukada mendatang, guna dapat menyalurkan aspirasi masyarakat adat secara lebih maksimal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H