Mohon tunggu...
Mirza Buana
Mirza Buana Mohon Tunggu... PNS Dosen -

menulis untuk mengekpresikan pikiran dan berbagi perspektif

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Langit Biru Australia (1)

30 Oktober 2014   22:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:07 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan kali ini adalah tentang beberapa pengalaman saya selama tinggal dan kuliah di kota Brisbane, negara bagian Queensland, Australia.

Agak terlambat saya menulis tentang salah satu negara terindah didunia ini. Saya sudah memasuki tahun ketiga (terakhir) masa studi di University of Queensland. Tapi orang aussie bilang, better late than none, mate! Jadi saya akan tetap menulis.

Saya pertama menginjakkan kaki di Brisbane, pada tanggal 4 Juni 2012, diawal musim dingin. Kali pertama saya ke Australia. Sejujurnya Australia bukanlah negara prioritas tujuan belajar saya. Namun, benar sebuah ungkapan bahwa; Tuhan selalu punya rencana lain untuk hambaNya. Tentang ‘kecelakaan sejarah’ kuliah di Australia, saya akan menulis ditopik yang lain.

Banjarmasin

Seminggu sebelum keberangkatan adalah masa-masa tergalau saya. Memang saya sudah biasa berantau. Namun kali ini sedikit berbeda, karena beberapa bulan sebelumnya saya sudah menikahi gadis yang saya cintai sebagai istri. Ada beban dan tentu rindu sebagai pengantin baru yang harus terpisah (sementara) untuk beberapa bulan kedepan. Istri akan menyusul satu atau dua bulan kedepan.

Anak kampung dari ujung selatan pulau Kalimantan itu pun bergegas kebandara. Saya masih ingat suasananya perpisahan dengan orang tua dan istri di bandara Syamsudin Noor, Banjarmasin. Batinku berkata, layar sudah dinaikkan, pantang untuk kembali ke pantai. Bismillah, here I come, Australia!

Jakarta

Selama diruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta, untuk membunuh jenuh. Saya berjalan-jalan disekitar toko-toko penjual souvenir, dan resto. Entah kenapa saya tidak mood untuk makan atau untuk belanja barang import. Mata saya malah tertuju pada toko buku import. Tidak salah untuk menuju kesana saya pikir, hitung-hitung membiasakan diri membaca teks Bahasa Inggris.

Banyak buku-buku yang bagus disana, saya juga menemukan beberapa novel Paulo Coelho, penulis Brazil yang saya gandrungi. Namun perhatian saya tertuju kesalah satu buku petunjuk perjalanan (travel guide), berjudul Australia. Sejurus kemudian saya sudah membaca sembari membolak-balik halaman buku itu, direktori yang saya cari adalah kota Brisbane, di negara bagian Queensland.

Bukan teks-teks berisi informasi yang  saya cermati pada buku itu, tapi foto-foto tentang Australia yang memikat hati saya, dari megahnya Harbour Bridge dan Sydney Opera House sampai indahnya gurun pasir di wilayah pedalaman (outback) Australia. Semua foto-foto tersebut memiliki satu kesamaan yang indah. Langit biru yang hampir tanpa awan. Langit biru cemerlang yang tidak pernah saya jumpai di Indonesia, bahkan di beberapa negara Asean dan Asia yang pernah saya kunjungi.

Selepas itu, saya pun kembali duduk diruang tunggu, sembari menerawang dari balik jendela ruang tunggu, langit senja Jakarta yang kelabu.

Di bandara saya bertemu dengan beberapa teman penerima beasiswa ALA dan ADS (sekarang berganti nama menjadi AA). Tidak terlalu banyak mahasiswa yang berangkat di semester musim dingin, berbeda dengan semester musim panas yang selalu penuh dengan mahasiswa baru.

Ada beberapa teman yang berkesan bagi saya, salah satunya Pak Amin, dosen senior dari NTB yang senasib dengan saya harus menunda keberangkatan selama 6 bulan (penerima beasiswa ALA 2012 seharusnya berangkat Januari 2012). Beliau sosok yang kharismatik dan kebapaan. Kami sudah saling bertukar informasi dalam beberapa bulan sebelum keberangkatan.

Ada sedikit cerita lucu tentang beliau. Sebagai seorang Muslim yang lahir dan tumbuh dilingkungan Muslim moderat-kultural. Saya terbiasa mengucap salam kepada semua orang, terutama untuk memulai dan mengakhiri perbincangan baik langsung maupun via telepon. Setiap kali saya menghubungi pak Amin, diawal dan diakhir percakapan, selalu saya ucapkan salam, dan beliau juga dengan fasih selalu membalas salam saya. Hal yang sama saya lakukan ketika pertama kali bertemu dengan beliau di kantor ALA/ADS. Identitas keagamaan beliau baru saya ketahui setelah beberapa bulan di Australia. Ternyata beliau adalah seorang non-Muslim, penganut Katolik yang taat. Nama beliau yang ‘Islami’ mengecoh saya. Lewat kejadian ini, ada rasa hormat yang muncul kepada beliau. Walaupun non-Muslim, beliau tetap dengan baiknya membalas salam saya, tanpa sedikitpun memberi koreksi dan membiarkan saya mengetahuinya sendiri. Sungguh pribadi yang terpuji.

Sydney

Teman kedua adalah mas Hasyim, wartawan yunior the Jakarta Post, yang mungkin 2-3 tahun lebih muda dari saya. Kami pertama berbincang diruang tunggu Bandara Sydney. Pesawat kami transit 2 jam disana. Setelah sebelumnya saya mondar-mandir mencari Gate Sydney-Brisbane. Maklumlah saya orang kampung, jarang melancong keluar negeri.

Saya sangat terkesan dengan sikapnya yang ramah dan hangat. Saya selalu menilai seseorang dari mata dan gesture tubuh. Dari kedua aspek psikologis tersebut saya bisa cepat menilai, anak muda ini memilik karakter yang kuat dan cerdas. Terkesan dengan sikap mas Hasyim, saya langsung mengingat dan mengamini, petuah bijak ayah saya yang mengatakan bahwa; “ilmu yang wajib dimiliki dan dikuasai oleh manusia (sebagai mahkluk sosial) adalah public relation.” Sayang sekali kami kuliah dikampus yang berbeda, mas Hasyim kuliah di Griffith University, selatan kota Brisbane.

Hawa dingin Sydney sudah kami rasakan, beda ekstrim dengan cuaca kampung halaman, Banjarmasin yang panas, lembab dan lengket (karena selalu berkeringat). Setelah sekitar beberapa menit berbincang akrab dengan mas Hasyim dan seorang kawan dari Padang, Aufa, petugas bandara memberi pengumuman untuk segera memasuki pesawat.

Sembari memasang sabuk pengaman, saya menerawang jauh lewat jendela pesawat. Cuaca tidak terlalu bersahabat, langit mendung dan sedikit gerimis. Saya menggerutu dalam hati; huh, langit biru Australia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun