Mohon tunggu...
Mirza Buana
Mirza Buana Mohon Tunggu... PNS Dosen -

menulis untuk mengekpresikan pikiran dan berbagi perspektif

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Negeri Dongeng Selandia Baru (1)

14 Desember 2014   15:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:20 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah lelah berkutat dengan deadline penulisan disertasi, awal bulan Desember 2014 saya canangkan sebagai masa liburan akhir tahun. Rencana keberangkatan ke negeri dongeng, Selandia Baru sudah lama digagas bersama teman-teman di bulan Ramadhan silam. Namun karena keterbatasan waktu (dan juga biaya) kami hanya akan mengunjungi pulau selatan Selandia Baru. Konon kabarnya, pulau selatan Selandia Baru lebih indah dan cantik pemandangan alamnya ketimbang pulau utara. Selama 2 tahun lebih masa kuliah di Australia, saya dan istri jarang berlibur atau sekedar jalan-jalan keluar kota Brisbane. Liburan ke Selandia Baru kali ini kami anggap sebagai ‘loncatan panjang’ perjalanan hidup kami selama merantau di Australia.

Kami berlima berpetualang ke Selandia Baru. Saya dan istri, sepasang suami-istri dan satu orang lelaki single. Kami memutuskan hanya pergi berlima. Karena semakin kecil kelompok perjalanan, akan semakin mudah mengatur segala hal terkait perjalanan. Selain itu, juga semakin mudah bagi kami untuk bertoleransi antar sesama. Melakukan perjalanan berkelompok memiliki beberapa keuntungan, terutama dari segi biaya yang bisa dibagi-bagi. Namun ada juga kekurangannya. Dengan pergi berkelompok berarti kita harus bisa pula saling memahami, menghormati dan menerima karakter, kekurangan dan keterbatasan teman-teman seperjalanan. Saya memaknainya bukan sebagai kekurangan, namun lebih sebagai proses pembelajaran dan pendewasaan.

Hari Pertama

Hari yang dinanti-nanti akhirnya pun tiba. Selasa, 2 Desember 2014 adalah hari keberangkatan kami ke Selandia Baru. Supervisor (pembimbing disertasi) saya seolah tidak rela melepas saya sejenak berlibur. Mereka meminta saya menghadiri workshop dan seminar di kampus dari pagi sampai siang. Kemudian disambung dengan rapat sekitar setengah jam dengan mereka. Selepas rapat dan sedikit basa-basi dengan supervisor, saya cepat melangkah menuju bus station di area kampus untuk mememui istri dan teman-teman yang akan berkumpul disana. Kertas-kertas penuh coretan dari supervisor saya letakkan di laci meja di kantor. Membathin saya berkata: “haram bagi saya membawa kertas-kertas ini selama liburan!”

Jadual keberangkatan dari bandara Internasional Brisbane adalah jam 4.30 sore, namun tentu karena perjalanan lintas negara, kami harus datang ke bandara 2 jam lebih awal untuk mengurus imigrasi dan check in bagasi. Singkat kisah, kami sudah berada di ruang tunggu bandara menunggu gerbang pesawat dibuka. Perjalanan udara selama lebih dari 3 jam ditempuh dari Brisbane ke Christchurch. Waktu Selandia Baru lebih cepat 3 jam dari Australia (Brisbane), yang berarti 6 jam lebih cepat dari waktu Indonesia (WIB). Menengok keluar jendela pesawat saya melihat indahnya lampu-lampu kota Christchurch. Waktu sudah menunjukkan jam 1 tengah malam. Kami sudah memasuki hari kedua perjalanan. Rasa lelah dan ngantuk terbayar ketika sang pilot dengan aksen Selandia Baru mengumumkan bahwa pesawat akan mendarat dalam waktu dekat.

Hari Kedua

Selesai pemeriksaan imigrasi, kami bergesas mengambil mobil yang sudah kami sewa jauh hari sebelumnya. Keluar dari gedung bandara yang hangat, kami merasakan sensasi dingin musim panas di Selandia Baru. Musim panas di Selandia Baru, hampir sama dinginnya dengan musim dingin di Australia. Saya bergegas menutup kancing-kancing mantel. Jangan pernah remehkan jahatnya suhu dingin ditengah malam. “Masih banyak waktu tersisa, jangan sampai jatuh sakit di awal liburan”, saya membathin.

Sepanjang perjalanan menuju hotel tidak banyak kesan tentang kota Christchurch. Jalan sangat sunyi dan senyap. Kami toh hanya transit bermalam disini. Perjalanan sesungguhnya akan dimulai besok hari. Kami sampai di hotel sekitar jam 2 tengah malam. Terasa tangguh untuk tidur, karena waktu shalat subuh di Selandia Baru sekitar jam 3 subuh. Kami menunggu datangnya waktu subuh dengan menyedur mie instan sembari berbincang akrab bersama. Kemudian terlelap sesaat sekitar 1 sampai 2 jam.

Pagi sekali kami sudah keluar dari hotel. Sebelum memulai perjalanan kami singgah di supermarket untuk belanja kebutuhan dapur dan cemilan selama perjalanan. Supermarket di kota Christchurch sedikit berbeda dengan di Brisbane. Trolly belanjanya sangat besar, mungkin karena banyak warga Selandia Baru yang tinggal jauh di luar kota sehingga perlu belanja sebulan sekali dengan porsi yang banyak. Selesai belanja. Kami bergegas menuju restoran cepat saji untuk sarapan. Menu junk foods pertama selama liburan. Karena memang sudah lapar dan perlu tenaga ekstra selama dalam perjalanan, saya mengabaikan program diet dan pola hidup sehat.  Satu porsi besar hamburger dan kentang goreng pun habis dilahap.

Hari kedua adalah awal perjalanan kami. Kami menuju Franz Josef yang terletak diwilayah pegunungan barat pulau selatan Selandia Baru. Sepanjang perjalanan, mata kami dimanjakan oleh indahnya pemandangan alam. Bukit dan gunung beberapa masih berselimut salju, kembang liar beraneka warna dan jenis tumbuh subur disekitar jalan. Disepanjang jalan, kami juga sering melewati danau-danau besar yang indah dan asri. Hawa dingin diimbangi dengan teriknya mentari menambah kekhasan perjalanan liburan kami. Kami beberapa kali harus menepi untuk sekedar mengambil gambar dan menikmati suasana pedesaan Selandia Baru. Makan siang pun kami lakukan dipinggir danau, sembari tentunya berfoto-foto bersama.

Franz Josef ternyata lumayan jauh jaraknya dari Christchurch. Kami harus berhenti untuk mengisi bensin. Pom bensin hanya bisa ditemui di kota atau kampung kecil yang kami lewati. Ada kejadian unik dan juga lucu ketika kami ingin mengisi bensin untuk pertama kalinya di suatu kota kecil. Bangunan pom bensin sangat kuno dan terkesan tidak terurus. Di Australia, pom bensin pastilah berdekatan dengan minimarket yang juga menjadi tempat untuk membayar bensin, dan tempatnya selalu penuh dengan pelanggan. Namun di pom bensin tersebut minimarket nya tutup, sepi dan terkesan tidak terawat. Perlu beberapa waktu bagi kami untuk mencari cara mengisi bensin dan membayarnya. Sampai akhirnya saya menemukan ruangan kecil seperti ATM yang terletak lumayan jauh dari pom bensin. Ternyata pom bensin yang terkesan kuno dan tidak terurus tersebut memakai sistem pembayaran otomatis dan pembayaran harus dilakukan dengan kartu kredit (tidak menerima cash). Sepanjang jalan kami berbincang tentang pom bensin tersebut. Pom bensin yang kami anggap kuno dan terletak di kota terpencil ternyata memiliki sistem pengisian dan pembayaran yang canggih. Sungguh benar kata pepatah: “do not judge the book by its cover”.

Karena jarak tempuh masih panjang dan melelahkan, kawan yang menyetir pun menyerah untuk beristirahat dan kendali mobil diserahkan kepada saya sampai ke Franz Josef. Perjalanan ditempuh sekitar hampir 8 jam (menjadi lama karena kami sering berhenti untuk berfoto). Kami sampai di Franz Josef sekitar pukul 6 sore. Hal yang perlu disyukuri berlibur pada waktu musim panas adalah waktu siang yang lebih lama. Di Selandia Baru, matahari tergelincir di ufuk barat sekitar pukul 9. 30 malam. Jam 6 sore masih sangat terang benderang di Franz Josef.

Franz Josef sebenarnya lebih tepat disebut sebagai ‘kampung’ ketimbang desa. Namun jangan cepat underestimate dengan kampung kecil ini. Semua kebutuhan primer (sandang dan pangan) sangat lengkap di kampung ini. Bisa dimaklumi karena Franz Josef adalah kampung parawisata, yang terletak tepat dibawah gunung salju dan glacier yang setiap tahun mengundang banyak turis asing dan lokal.

Ada kejadian lucu selama berpelesir sejenak di pusat kampung Franz Josef. Mungkin karena cuaca dingin, kami semua ingin buang air kecil. Setelah cukup lama mencari, akhirnya kami menemukan bangunan bergaya futuristik yang dibagian depannya terpampang simbol toilet umum. Toilet umum ini lain dari biasanya, ada beberapa tombol di depan pintunya. Pintu tidak bisa dibuka secara manual, namun harus dengan menekan tombol-tombol tersebut. Syukurnya instruksinya masih dalam Bahasa Inggris. Yang lebih mencengangkan adalah bagian dalam toilet yang semua serta otomatis. Flush, cuci tangan dan membuka pintu dilakukan secara otomatis. Kami, anak-anak kampung ini merasa sangat tercengang dengan teknologi ini. Kami tidak pernah menemui toilet secanggih ini bahkan di Australia sekalipun. Di kampung kecil bernama Franz Josef, kami menemukan toilet futuristik ini.

Karena hari masih terang (walaupun sebenarnya sudah jam 7 malam). Kami menuntuskan untuk menunda check-in di hotel dan bergegas untuk menuju objek wisata gunung es glacier. Mobil diparkir ditempat parkir umum dan kami harus berjalan kali untuk menuju glacier. Perjalanan ke glacier ditempuh sekitar 1 jam lebih. Pemandangan alam berubah secara perlahan dari kumpulan rumput-rumput, tanaman pakis sampai jalanan berbatu yang licin. Perjalanan yang mengurus tenaga namun memuaskan bathin tersebut terbayar ketika kami berhasil mencapai point outlook untuk melihat glacier dari jarak yang dekat. Total waktu perjalanan bolak-balik ke glacier ditempuh sekitar 2 jam lebih. Rasa lelah dan penat terbayar lunas dengan pemandangan alam gunung-gunung es disepanjang perjalanan.

Sekitar pukul 9 malam (dan hari mari terang), kami kembali ke Franz Josef untuk menuju penginapan. Lokasi penginapan juga tidak kalah bagusnya dari perjalanan kami. Penginapan berbentuk studio dengan dua kamar besar dan dapur sangat nyaman untuk ditinggali. Penginapan terletak tepat dibawah gunung es salju, mungkin pemandangan yang sangat menawan. Selesai makan malam, kami beristirahat untuk memulihkan dan mempersiapkan fisik dan kesehatan. Besok pagi kami akan meninggalkan Franz Josef untuk pergi kewilayah lain yang tidak kalah indahnya.

Hari ketiga

Pagi hari kami bertolak dari Franz Josef. Destinasi wisata kami kali ini adalah Mount Potts kemudian menuju kota kecil bernama Twizel untuk bermalam disana. Perjalanan ke Mount Potts sangat lama. Namun sama seperti perjalanan sebelumnya, disepanjang perjalanan kami dipuaskan oleh pemandangan indah bak negeri dongeng. Alam yang asri di wilayah pegunungan Selandia Baru terpampang jelas didepan kemudi. Saya yang saat itu mengemudi mobil takjuk, terkesima dan melupakan rasa ngantuk, lelah dan lapar. Wisata di Selandia Baru lebih dapat dinikmati disepanjang perjalanan. Keindahan alam tidak hanya terdapat pada tempat-tempat tujuan wisata, namun juga pada wilayah-wilayah sekitar yang dilewati sepanjang perjalanan.

Perjalanan ke Mount Potts juga sangat lama dan melelahkan. Jalan aspal yang mulus berganti dengan medan semi-offroad dengan krikil-krikil tajam. Syukur mobil yang kami sewa berbadan besar dan bertenaga four wheels drive. Mobil masih lincah menanjak pengunungan.

Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore ketika kami tiba dipemberhentian pertama yang merupakan pertanda setengah jalan perjalanan menuju Mount Potts. Indikator bensin menunjukkan bahwa tangka bensin sudah habis setengah. Kami pun dengan berat hati harus mengambil keputusan untuk balik arah ke kota Twitzel dan pergi menjauh dari Mount Potts. Walaupun sedikit kecewa tidak berhasil mencapai Mount Potts, kami sedikit berbesar hati karena sudah menikmati banyak pemandangan indah selama perjalanan.

Jalan menuju dan pulang dari Mount Potts sangat sepi. Ditambah dengan datangnya kabut disore hari yang semakin membuat perjalanan pulang menjadi sedikit menyeramkan. Diperjalanan pulang kami melewati kampung yang bernama Clearwater. Kota dipinggir danua yang tidak berpenghuni. Tidak jelas alasan kenapa perkampungan tersebut tidak berpenghuni, mungkin kampung tersebut hanya diperuntukkan sebagai tempat observasi lingkungan hidup atau tempat tinggal sementara kru film Lord of the Ring yang dulu pernah shooting disekitar wilayah Mount Potts. Kami singgah sejenak di Clearwater untuk buang air kecil dan tidak ingin berlama-lama tinggal disana. Kabut meliputi perkampungan menambah kesan angker tempat tersebut. Kami pun dengan segera tancap gas menuju Twizel.

Sepanjang perjalanan menuju Twizel kami melewati 2 objek wisata yang sangat terkenal di pulau selatan, yaitu Lake Tekapo dan Lake Pukaki. Kedua tempat tersebut akan kami kunjungi besok. Setelah lebih dari 3 jam perjalanan. Kami sampai di Twizel, kota kecil yang asri dan bernuasa pedesaan. Kota ini sangat strategis karena terletak diantara banyak objek wisata, semisal danau-danau yang sudah disebut diatas dan Mount Cook atau dalam bahasa suku Maori disebut Aokaki. Disepanjang kota dipenuhi dengan pohon-pohon pinus atau cemara. Tidak salah bila kota ini dijuluki sebagai the city of pines.

Setelah sampai dipenginapan, kami bergegas untuk menyiapakan makan malam dan beristirahat. Penginapan juga berbentuk studio dengan dua kamar utama, dapur dan bonus ruangan besar dengan perapian tradisional. Tinggal di penginapan ini serasa tinggal diwilayah pedesaan di Eropa, dimana disetiap ruangan ada perapian yang menghangatkan seluruh ruangan. Sungguh tempat yang sangat nyaman untuk ditinggali.  Kami berencana tinggal di Twizel selama 2 hari untuk lebih banyak waktu menjelajahi wilayah pegunungan di sekitar Twizel.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun