Pernahkah Anda melihat anak Anda kesulitan mengungkapkan apa yang dia rasakan?Â
Atau mungkin justru meledak-ledak ketika mengekspresikan emosi? Menulis puisi bisa menjadi solusi yang menyenangkan untuk membantu anak mengekspresikan diri mereka dengan cara yang sehat dan kreatif, menulis puisi memang bisa menjadi saluran yang sangat bermanfaat untuk anak mengekspresikan perasaan mereka.
Kekhawatiran orang tua melihat anaknya kesulitan mengungkapkan perasaan bukanlah hal yang asing. Di era digital yang serba cepat ini, banyak anak -anak yang terjebak dalam dunia digital mereka. Mata mereka terus tertuju pada layar, jari-jari kecil mereka lincah mengetuk gawai, namun lidah mereka seolah kelu ketika harus mengungkapkan perasaan.Â
Ada yang mendadak menangis tanpa bisa menjelaskan alasannya, ada pula yang melempar mainan saat merasa kesal. Situasi ini tentu membuat kita sebagai orang tua merasa khawatir dan bingung.Â
Fenomena ini semakin umum terjadi di era digital. Anak-anak zaman sekarang lebih banyak berinteraksi dengan gawai dibandingkan mengekspresikan diri secara langsung. Akibatnya, kemampuan mereka untuk mengenali dan mengkomunikasikan emosi menjadi terbatas.
Lalu bagaimana dengan puisi? Puisi hadir sebagai sahabat yang siap menampung segala cerita. Seperti selembar kertas kosong yang tidak menghakimi, puisi memberi ruang bagi anak untuk menuangkan apa saja yang mereka rasakan. Mereka bisa menulis tentang kupu-kupu yang indah, atau tentang monster di bawah tempat tidur yang menakutkan.Â
Semua valid, semua diterima. Melalui puisi, anak-anak menemukan cara baru untuk "berbicara". Ketika kata-kata lisan terasa berat di lidah, mereka bisa menuliskannya dalam baris-baris sederhana. Tidak perlu kata-kata rumit, tidak perlu struktur sempurna. Yang penting adalah kebebasan untuk mengungkapkan isi hati.
Berbeda dengan media sosial yang sering membuat anak terjebak dalam perbandingan dan penilaian, puisi memberikan ruang pribadi yang aman. Di sini, tidak ada "like" yang perlu dikejar, tidak ada komentar yang perlu ditakuti. Yang ada hanyalah kejujuran ekspresif seorang anak yang sedang belajar mengenal dan menerima perasaannya sendiri.
Sebagai orang tua, kita bisa mulai dengan hal-hal sederhana. Saat anak pulang sekolah dengan wajah murung, kita bisa mengajaknya menulis tentang apa yang dia rasakan. Atau saat dia begitu gembira setelah bermain dengan teman, kita bisa mendorongnya untuk menggambarkan kegembiraan itu dalam kata-kata. Mungkin hasilnya tidak akan langsung seperti puisi-puisi dalam buku sastra.Â
Mungkin baris-barisnya masih tertatih, mungkin kata-katanya masih terbata. Tapi bukankah begitu juga cara mereka belajar berjalan dulu? Sedikit-sedikit, tertatih-tatih, sampai akhirnya bisa berlari dengan bebas. Yang terpenting adalah proses anak mengenali, menerima, dan mengungkapkan perasaannya. Karena ketika seorang anak bisa mengekspresikan diri dengan sehat, dia sedang membangun fondasi kesehatan mental yang kuat untuk masa depannya.
Mengapa Puisi Cocok untuk Anak?Â