Inklusi keuangan kian menjadi agenda utama bagi pemerintah dan bank sentral di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di tengah upaya untuk mendorong akses layanan keuangan bagi semua lapisan masyarakat, muncul pertanyaan tentang bagaimana dampak perluasan inklusi keuangan ini terhadap stabilitas sistem keuangan negara. Apakah inklusi keuangan akan menjadi solusi yang mendukung stabilitas ataukah justru menciptakan ancaman baru yang tak terduga?
1. Perkembangan Inklusi Keuangan di Indonesia
Selama dekade terakhir, Indonesia telah mencapai kemajuan pesat dalam inklusi keuangan. Data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa indeks inklusi keuangan di Indonesia naik dari sekitar 20% pada tahun 2011 menjadi lebih dari 50% pada tahun 2022. Peningkatan ini ditopang oleh kebijakan pemerintah yang gencar memperkenalkan layanan keuangan berbasis digital, serta oleh ekspansi berbagai lembaga keuangan dalam menyediakan produk yang lebih terjangkau. Program "Gerakan Nasional Keuangan Inklusif" (GNKI) adalah salah satu upaya pemerintah dalam mendorong akses ke layanan keuangan bagi masyarakat yang selama ini belum terjangkau, khususnya di daerah-daerah terpencil.
Namun, meskipun inklusi keuangan memperluas akses terhadap layanan finansial, muncul pertanyaan tentang sejauh mana peningkatan inklusi ini berdampak pada stabilitas keuangan nasional. Ketika lebih banyak masyarakat berpenghasilan rendah dan belum berpengalaman dalam mengelola risiko keuangan terlibat dalam sistem keuangan, apakah ada risiko yang dapat mengguncang stabilitas sistem ini?
2. Mengapa Inklusi Keuangan Diperlukan: Teori dan Manfaatnya bagi Stabilitas Ekonomi
Dalam teori ekonomi, inklusi keuangan dinilai mampu mendukung stabilitas ekonomi dengan mengurangi kemiskinan dan ketimpangan. Menurut teori distribusi akses keuangan (financial access theory), partisipasi yang lebih luas dalam sistem keuangan memungkinkan masyarakat memiliki kesempatan yang lebih baik untuk berinvestasi, menabung, dan mendapatkan pembiayaan. Dengan demikian, inklusi keuangan diyakini bisa menciptakan masyarakat yang lebih produktif dan mengurangi kerentanan ekonomi, terutama dalam menghadapi guncangan keuangan seperti pandemi COVID-19.
Selain itu, menurut Financial Stability Theory, stabilitas keuangan dapat lebih mudah dijaga ketika masyarakat memiliki akses yang cukup terhadap layanan keuangan karena mereka akan lebih siap menghadapi keadaan darurat dan mengurangi risiko gagal bayar. Dengan kata lain, inklusi keuangan yang tepat bisa memperkuat fondasi stabilitas ekonomi nasional.
3. Potensi Risiko: Apakah Ada Harga yang Harus Dibayar?
Meskipun ada banyak manfaat dari inklusi keuangan, terdapat risiko yang tidak boleh diabaikan. Sebagian ahli ekonomi memperingatkan bahwa akses yang terlalu mudah ke kredit dan produk keuangan, terutama di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah yang kurang memahami risiko finansial, dapat meningkatkan kredit macet dan menciptakan masalah stabilitas.
Dalam konteks ini, teori Financial Fragility menyebutkan bahwa sistem keuangan dapat menjadi rentan jika masyarakat yang belum siap terpapar risiko kredit secara besar-besaran. Misalnya, mereka yang sebelumnya tidak memiliki akses ke pinjaman kini memiliki lebih banyak peluang untuk mengajukan kredit tanpa pemahaman yang memadai tentang risiko gagal bayar. Akibatnya, jika terjadi krisis, jumlah kredit macet dapat meningkat tajam dan membebani bank-bank yang telah memberikan kredit kepada mereka. Hal ini bisa menjadi risiko bagi stabilitas bank kecil hingga menengah, yang rentan terhadap tekanan keuangan.
4. Inklusi Digital dan Risiko Siber di Era Teknologi