Mohon tunggu...
Mirna ZenaTuarita
Mirna ZenaTuarita Mohon Tunggu... Dosen - Seorang nakama yang belajar menjadi penulis

Seorang nakama yang belajar menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pelabelan "Bebas BPA" Pada Kemasan Pangan, Apakah Masih Aman?

25 September 2022   08:30 Diperbarui: 25 September 2022   08:30 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Bisophenol A atau BPA merupakan bahan kimia sintetik yang ditemukan dalam plastik polikarbonat dan resin epoksi dalam kemasan makanan. Plastik polikarbonat  umumnya digunakan sebagai wadah simpan produk pangan, sedangkan bahan resin epoksi digunakan sebagai pelapis kemasan kaleng seperti kaleng makanan, botol, hingga galon air minum isi ulang.

Kemasan plastik memiliki monomer berbahaya yang dapat mengkontaminasi produk sehingga dapat membahayakan kesehatan. Bila ada kontak antara plastik dengan makanan yang dikemas (khususnya makanan cair atau semi basah), dapat terjadi perpindahan bahan-bahan kimia tadi ke dalam makanan yang disebut migrasi. Dalam jangka waktu lama bila bahan kimia (plastik) bermigrasi ke dalam makanan dan kemudian dikonsumsi secara terus-menerus dapat menimbulkan efek kesehatan yang sangat berbahaya, salah satunya adalah kanker. Masalah yang muncul saat ini adalah ditemukannya sejumlah kajian mengenai komponen BPA yang berbahaya bagi kesehatan manusia karena dapat menyebabkan kanker dan infertilitas.

Paparan BPA dapat masuk kedalam tubuh melalui berbagai rute paparan, salah satunya adalah oral melalui makanan yang dikonsumsi. Diketahui paparan BPA melewati oral dapat menimbulkan beberapa penyakit, salah satunya masalah endokrin dan metabolik yaitu Diabetes Mellitus Tipe 2 (DMT2).

Penggunaan plastik berbahan BPA diatur cukup ketat di berbagai negara. Badan Pengawas Obat dan Makanan di Amerika serikat, Food and Drug Administration (FDA), mengatur paparan BPA tidak boleh melebihi 5 miligram per kilogram (ppm) per berat tubuh orang dewasa. Di Eropa, European Food Safety Authority, pada 2016  mengurangi batas migrasi BPA yang masih diperbolehkan pada plastik kemasan pangan dari 50 menjadi  4 µg/kg bw.

Informasi mengenai bahaya kesehatan yang ditimbulkan oleh paparan BPA  telah diketahui secara luas sehingga mengharuskan beberapa industri makanan dan minuman secara tidak langsung menggunakan bahan kimia alternatif yang lebih aman, dan  kemudian dilabeli “BPA Free” atau “Bebas BPA”. BPA analog tersebut memiliki dua fungsi hidroksifenol yang  sama. Bisfenol-S (BPS), Bisfenol F (BPF), dan Bisfenol-AF (BPAF) merupakan komponen plastik BPA analog yang paling banyak ditemukan pada produk berlabel “Bebas BPA”.

Berdasarkan frekuensi pemakaian, plastik dibedakan  kedalam plastik sekali pakai (disposable). Berulang kali pakai (multitrip) dan alih fungsi (semi disposable). Plastik berulang kali pakai umumnya menggunakan Bisfenol sebagai pengganti BPA adalah Bisfenol-S (BPS), karena memiliki sifat yang  mirip dengan BPA. Namun sejumlah studi terbaru melaporkan plastik BPS tidak lebih aman dari BPA.

Hasil riset yang dipublikasikan di jurnal Nutrients tahun 2020, kemasan plastik berbahan BPS berlabel “Bebas BPA” jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan kemasan yang mengandung BPA itu sendiri, BPS memiliki jalur berbeda dengan BPA namun tetap menyebabkan efek ekuivalen obesogenik, yakni mengaktivasi preadiposit, dimana BPS berkorelasi terhadap penyakit metabolik dan mengganggu sistem endokrin,  diantaranya gestational diabetes (BPA diketahui tidak berkorelasi). BPS juga lebih toksik pada sistem reproduksi dibandingkan BPA dan menginisiasi kanker payudara pada wanita seperti halnya BPA. Bahaya lain yang ditimbulkan  dari BPS adalah efek  jaringan saraf dan sistem imun, bahkan kerusakan DNA. Selain BPS, BPF atau Bisfenol-F juga sama berbahaya dengan BPA, dimana BPF diduga memiliki sifat mengganggu endokrin yang mirip dengan BPA.

Artikel awal di tahun 2017 menginvestigasi BPAF, BPB, BPZ, BPA, BPF, BPAP and BPS pada MCF-7 sel kanker payudara wanita. Mereka menemukan bahwa seluruh bisofenol analog bertindak sebagai ERα agonists, tetapi dengan membawa efek estrogenik yang berbeda. Potensi estrogenik dievaluasi dengan BPAF > BPB > BPZ = BPA > BPF = BPAP > BPS.

Hasil riset lain yang dipublikasikan pada  Environmental Health Perspective tahun 2015 menemukan aktivitas hormon menunjukkan aksi yang sama dengan BPA (estrogenik, anti-estrogenik, androgenik, dan anti-androgenik) secara in vitro dan in vivo. BPS juga memiliki potensi mirip dengan estradiol pada membran-jalur termediasi, yang sangat penting pada aktivitas seluler, seperti proliferasi sel, diferensiasi sel, bahkan kematian. BPS dan BPF pada pengujian secara in vivo dan in vitro menunjukkan efek yang sama dengan BPA, seperti perubahan berat organ,dampak pada sistem reproduksi dan ekspresi enzim.

Risiko Pemakaian Plastik 

Pemakaian plastik berulang seperti halnya pada air galon isi ulang memiliki potensi bahaya apabila wadah galon (plastik) yang digunakan dalam waktu lama, prosedur pencucian, lama penyimpanan, dan distribusi. Tekanan (gesekan) dan perubahan material plastik, kontak dengan alkali dan detergen dapat menjadi pemicu migrasi komponen BPA, Selama proses pencucian air galon menggunakan deterjen dengan alkali dapat memicu migrasi partikel BPA lebih tinggi karena BPA semakin larut. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menetapkan ambang batas yang ditentukan pada air minum kemasan galon sebesar 0,6 bagian per sejuta (ppm) per liter, pada periode 2021-2022.

Tercemarnya AMDK galon dengan migrasi partikel BPA disebabkan oleh pasca proses produksi. Sebagai contoh, perlakuan galon yang terkena panas menyebabkan suhunya makin tinggi serta makin lama waktu kontak selama distribusi ke tangan konsumen. Selama proses pencucian galon untuk kemudian digunakan lagi, galon disemprot dengan air panas bersuhu 70 derajat Celcius. Hal ini tentu saja dapat melarutkan BPA meski dalam konsentrasi yang sangat kecil, dapat luruh ke dalam air yang dikemas. Larutnya BPA akibat suhu panas secara kontinyu tentu saja berbahaya dan sangat berisiko. Bahaya terpapar BPA dapat mengakibatkan terganggunya hormonal, perkembangan organ tubuh bagi janin, perubahan perilaku pada anak serta pemicu kanker.

Walaupun nilai migrasi BPA sangat kecil, namun ini merupakan potensi dan tetap ada karena pemakaian berulang. Permenperin telah mengatur pencucian air galon dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 26 Tahun 2019 mengenai metode pencucian kemasan pakai ulang dengan menggunakan deterjen foodgrade pada suhu 55-75 derajat Celcius.

Sayangnya hingga kini belum ada aturan pemerintah yang mengatur penggunaan kemasan plastik polikarbonat yang digunakan berulang kali secara mendetail. Seperti bagaimana standar distrubusinya, standar kualitasnya, dan standar pencegahan agar BPA yang berbahaya tidak larut dan bermigrasi ke dalam produk yang dikemas selama proses hingga pasca produksi.

Risiko migrasi partikel BPA tidak hanya berasal dari galon air. Risiko cemaran akan lebih besar apabila frekuensi pemakaian berulang. Bahan plastik PET hanya dapat digunakan sekali pakai sehingga memiliki tingkat daur ulang lebih tinggi dibandingkan jenis plastik lain. Akibatnya jumlah plastik yang dihasilkan lebih banyak sehingga berpotensi menjadi sumber pencemaran lingkungan.

Wadah plastik yang digunakan sehari-hari sebagai wadah makanan dan minuman juga berpotensi dalam transfer partikel BPA berukuran sangat kecil (ukuran nano) jika terkena panas. Oleh sebab itu, BPOM perlu membuat aturan untuk pemberian label pada galon yang digunakan berulang supaya tidak dikonsumsi oleh bayi, balita, dan janin mengingat wadahnya mengandung BPA. Meski demikian tidak mudah untuk dihindari secara total karena pemakaian plastik berulang dapat mengurangi limbah plastik sebagai sumber pencemaran lingkungan.

Pada plastik sekali pakai menggunakan bahan Polietilen tereftalat (PET atau PETE). Jenis bahan plastik ini kerap diaplikasikan pada kemasan  minuman, botol minyak goreng, sambal sachet, dan sebagainya. Plastik PET direkomendasikan  hanya untuk sekali pakai saja. Apabila dipakai berulang kali juga dapat berbahaya bagi kesehatan karena migrasi komponen berbahaya plastik kepada produk yang dikemas.

Alternatif Plasticizer Pengganti Bisofenol

Mirna Zena Tuarita, peneliti dari kelompok Studi Kemanan Pangan, Program Studi Rekayasa Pengolahan Hasil Perikanan mengatakan dunia sains dan industri pangan perlu mengembangkan bahan plastik jenis baru untuk menggantikan Bisofenol, sekaligus tetap aman bagi kesehatan manusia dan ramah lingkungan. Salah satunya adalah plasticizer yang sudah dikembangkan oleh peneliti BRIN yakni bijih plastik dari rumput laut berjenis Sargassum.

Peneliti dari pusat Riset Biomassa dan Bioproduk, Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRBB BRIN) menggunakan bahan-bahan nabati  yang dapat digunakan sebagai bahan baku bijih bioplastik. Bahan-bahan tersebut diformulasikan dengan beberapa bahan lainnya yakni 50% rumput laut, 25% gelatin, dan  25% gliserol. Kekuatan tarik yang dihasilkan sebesar 9,5 megapaskal  (Mpa), hanya sedikit lebih rendah dibandingkan plastik konvensional  yang mencapai 10 Mpa.

Dengan melihat perkembangan penelitian tentang plastik biodegradable yang umumnya menggunakan bahan-bahan alam dengan kandungan pati, maka penelitian yang dipublikasikan di jurnal Materials  (2022), para peneliti menggunakan agen plasticizer gliserol, sortbitol, dan polietilen glikol (PEG) dalam konsentrasi 15%, 30%, dan 45%, yang diformulasi dari biodegradable plastik dengan bahan utama pati jagung,  polivinil alkohol, dan chitosan. Ketiga plasticizer ini menunjukkan peningkatan performance. Formulasi terbaik dari bahan-bahan pembuat plastik yakni formulasi 30% sorbitol menunjukkan  nilai elongasi dan nilai kuat tarik terbaik, ketahanan air paling baik, dan resisten suhu yang lebih baik.

Dengan demikian, botol dan wadah yang terbuat dari polikarbonat yang mengandung Bisofenol dapat juga dibuat dari polimer lain yang tidak memiliki bahaya serupa. Bahan alternatif tersebut dapat berasal dari bahan-bahan alam biodegradable yang memiliki sifat yang mirip dengan BPA dan dapat digunakan sebagai alternatif BPA  dalam rantai suplai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun