Mohon tunggu...
Ni Putu Mirnawati
Ni Putu Mirnawati Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

FB: Mirna wati (Mirnadeceva)\r\nTW:@Mirna_DeCeva

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Andai "Dia" Matematika

25 September 2012   08:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:44 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin banyak yang bertanya ketika membaca judul di atas. Siapa yang saya maksud “Dia”? Atau apakah “Dia” itu? Si “Dia” yang saya maksud disini adalah Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa ibu kita yang sangat akrab ditelinga dan sering dipraktekkan sehari-hari. Maka tidak salah jika saya menyematkan title “Dia” agar kelihatan lebih akrab.

Saking akrabnya, mungkin dalam pelajaran sekolah sudah dianggap enteng bahkan mungkin sudah di luar kepala. Meskipun begitu, sebagian besar siswa ketika menjalani tes harian maupun ujian nasional, Bahasa Indonesia begitu mematikan. Masih kalah jauh dengan matematika yang selama ini dianggap paling menakutkan. Mendapat nilai sempurna pelajaran matematika dalam ujian nasional (UN) mungkin sudah lumrah bagi sebagian orang. Karena sudah banyak siswa yang bisa mendapatkannya. Bandingkan jika ada yang mendapat nilai Bahasa Indonesia dengan sempurna, tentu itu menjadi suatu hal yang “wah”.

Dari tahun ke tahun mungkin sudah menjadi suatu kepastian jika ada yang mendapat nilai matematika dengan sempurna. Bandingkan dengan Bahasa Indonesia, bahkan menurut beberapa media massa menyebutkan jika diantara mata pelajaran yang diujiankan, penyebab ketidaklulusan terbesar adalah Bahasa Indonesia. Aneh, tapi kenyataan dalam sehari – hari pelajaran Bahasa Indonesia memang membingungkan. Saya sendiri yang sekarang masih berstatus siswa SMA merasakan hal yang sama.

Antara guru yang satu dengan lain memilik pendapat berbeda ketika disodori soal yang sama. Misalnya saja dalam materi menulis surat, guru pada kelas 11 memberikan penjelasan bahwa surat izin harus terdiri dari tiga paragraf, yakni pembukaan, isi, dan penutup. Hal ini berlandaskan dari buku yang dia baca. Namun berbeda halnya ketika naik ke kelas 12. Menurut guru di kelas 12, dalam menulis surat izin cukup terdiri dari satu paragraf yang memuat inti saja, agar tidak bertele-tele.

Aneh, padahal waktu satu tahun itu cukup sebentar, tetapi materinya cepat sekali berubah. Sedinamis itukah Bahasa Indonesia? Manakah yang harus saya percaya dan tiru? Itu baru dua guru berbeda, bagaimana jika saya diajarkan oleh 10 guru bahasa yang berbeda?

Tidak hanya itu, tiap buku dari percetakan juga kadang memuat materi yang berbeda. Hal ini tentu menambah kebingungan siswa. Sudah pendapat guru beda, versi buku berbeda pula. Ironis, untuk memastikan satu materi saja siswa harus sibuk menggabungkan berbagai literatur.

Hal ini jauh berbeda dengan pelajaran matematika, dari SD saya mulai mengenal matematika sampai sekarang dan sampai kapan pun, dua tambah dua tetap saja sama dengan empat. Empat kali tiga tetap saja 12. Tidak ada perubaan, bahkan ditanyakan pada siapapun dan dicari di buku manapun tetap saja jawabannya sama.

Tak ayal, matematika pada saat tertentu bisa juga diagungkan. Matematika itu ilmu pasti, wujud tetap sama dimana dan dengan siapan pun berhadapan. Lain halnya dengan Bahasa Indonesia, beda guru, beda pandangan dan pemikiran. Beda buku, beda pula pembahasannya. Mengerjakan soal Bahasa Indonesia sebenarnya hanya butuh keahlian dalam mencari sudut pandang dari pembuat soal. Jika sudut pandang sudah sejalan maka jawaban benar. Dalam hal ini berlaku pepatah “dimana tanah dipijak, disana langit dijunjung.” Jadi dalam mengerjakan soal Bahasa Indonesia harus menyesuaikan dengan yang memberikan soal. Jika pemberi soal Si A dan kita menggunakan pedoman Si B jelas akan disalahkan oleh si A.

Oleh karena itu, perlu adanya konfrensi guru-guru Bahasa Indonesia untuk membahas mengenai materi pelajaran agar terjadi kesepakatan seluruh Indonesia. Selain itu, juga perlu adanya pertemuan dengan percetakan buku pelajaran Bahasa Indonesia agar memproduksi buku dengan materi yang sama. Agar terjadi kesamaan materi tiap sekolah. Karena jika buku dan guru selaku sumber belajar sudah membuat bingung, maka akan banyak lahir generasi “linglung”. Jika sudah begitu maka negara akan “buntung”. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun