“Terkadang, menjalani kehidupan itu sendiri merupakan sebuah keberanian” - Lucius Annaeus Seneca -. Sebuah kutipan dari seorang filsuf Romawi yang begitu singkat, namun memberikan makna yang teramat mendalam bagi seluruh umat manusia. Kutipan ini terutama ditujukan bagi mereka yang memilih untuk menyerah akan kehidupan yang penuh dengan permasalahan dan tantangan, sehingga memilih untuk menyudahinya.
Bunuh diri, begitulah sebutan bagi tindakan mengakhiri kehidupan sebelum waktu yang ditentukan oleh Sang Pencipta. Menurut data statistik WHO, angka bunuh diri di Indonesia mencapai 10,000 per tahun, dan secara global, jumlah nyawa yang melayang setiap tahunnya lebih banyak disebabkan oleh tindakan bunuh diri dibandingkan dengan alasan pembunuhan dan peperangan (Herman, 2014) [1]. Figur tersebut menunjukkan banyaknya manusia yang merasakan ketidaksanggupan yang luar biasa dalam melalui ujian-ujian di dalam kehidupan mereka.
Bunuh Diri Kepolisian
Hal yang lebih mengejutkan, akhir-akhir ini diberitakan bahwa kasus bunuh diri mulai marak terjadi di kalangan Kepolisian Republik Indonesia. Bahkan, Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S Pane, dibuat heran, lantaran di tahun 2014, polisi secara umum tewas akibat tertembak kriminal dan anggota kepolisian lainnya. Namun, di tahun 2015 angka penyebab kematian terbesar di kalangan kepolisian diakibatkan oleh tindakan bunuh diri (Pencawan, 2015) [2].
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selalu bekerja keras demi menegakkan hukum, menjaga keamanan, ketertiban, serta ketenteraman masyarakat, seharusnya merupakan orang-orang terpilih yang bukan saja cerdas, namun juga tangguh dan berani dalam menanggulangi segala permasalahan yang muncul. Akan tetapi, mulai muncul pertanyaan atas hal tersebut ketika beberapa anggotanya kemudian memilih untuk ‘mencabut’ nyawa mereka sendiri ketika harus menghadapai suatu ujian di dalam kehidupannya.
Keterangan-keterangan yang didapat dari kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan bunuh diri yang dilakukan anggota-anggota kepolisian tersebut, termasuk permasalahan asmara dan keputusasaan atas penyakit yang diderita, kesulitan ekonomi, serta tekanan di dalam pekerjaan mereka. Apapun alasan yang memicu terjadinya insiden tersebut, kejadian ini tetaplah sangat memprihatinkan. Para polisi yang dikagumi sebagai sosok yang kuat dan berani, beberapa di antaranya ternyata tidak cukup tegar dalam berjuang menyelesaikan permasalahan kehidupannya. Hal ini sangat ironis bila dibandingkan dengan ‘warga biasa’ yang masih dapat tetap tegar meskipun ditimpa berbagai ujian di dalam kehidupannya. Oleh sebab itu, pihak-pihak yang berkaitan diharapkan dapat segera memberikan solusi untuk mencegah terjadinya kembali fenomena tersebut. Ada beberapa hal yang dapat menjadi bahan pertimbangan tersendiri bagi mereka.
Evaluasi Rekrutmen serta Pendidikan Kepolisian
Pertama, hasil dari tes psikologi yang diselenggarakan saat proses rekrutmen bisa jadi tidak relevan dengan kepribadian dan tingkat ketahanan yang sesungguhnya dari para calon anggota polisi. Tes tersebut tidak cukup untuk mengungkap kepribadian mereka, apalagi tes ini hanya diadakan di awal, bukan secara reguler. Ada baiknya jika proses dan materi dari tes tersebut dikaji ulang, dan lebih diperdalam agar hasil tes dapat lebih menggambarkan keadaan yang sebenarmya. Selain itu, pihak kepolisian dapat menyelenggarakan sesi konseling secara periodik untuk dapat mengetahui perkembangan-perkembangan dari para polisi tersebut. Sesi konseling ini diharapkan dapat membantu mengungkap dan memberikan solusi bagi permasalahan-permasalahan yang mungkin sedang dialami oleh mereka, tetapi sulit untuk diungkapkan secara terbuka.
Kedua, perlunya evaluasi terhadap sistem sertifikasi pendidikan Polri. Sertifikat yang didapatkan belum tentu merupakan hasil dari proses pengamatan dan penelitian yang mendalam terhadap lembaga kepolisian itu sendiri serta para anggotanya. Harus diperhatikan apakah sistem dari sertifikasi tersebut memang sudah tepat ataukah hanya menggunakan semacam pendekatan seperti tick-box approach, di mana pengamat hanya melakukan penilaian berdasarkan jawaban orang-orang tertentu atas pertanyaan-pertanyaannya, serta tidak melakukan observasi secara mendalam terhadap proses yang sesungguhnya.
Pada intinya, diperlukan kerjasama oleh keseluruhan lembaga kepolisian serta pihak-pihak lain yang bersangkutan untuk mencegah terjadinya kembali insiden tersebut. Perlu diingat, bahwa polisi juga manusia yang pasti memiliki permasalahan di dalam kehidupannya, sehingga pemantauan dan evaluasi secara berkala menjadi krusial demi kelangsungan lembaga ini.