Mohon tunggu...
meithy intan
meithy intan Mohon Tunggu... -

pencinta lingkungan, ingin sharing utk hal2 yg bermanfaat, cinta akan pemberian Yang Maha Segalanya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dangkal dan "Ngepop"

3 April 2010   04:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:01 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Entah bosan dengan kesusahan atau terkesan tidak mau bersabar dan mencari pengalaman hidup yang bermakna, atau bisa juga karena salah persepsi, atau terbawa arus besar yang ada dan merasa mampu sebagaimana orang lain, maka tampillah fenomena kehidupan di jagat perpolitikan dan pemerintahan membuat saya takjub dan heran.

Dulu sewaktu masih remaja saya sudah mendengar istilah MASIH MUDA FOYA-FOYA, SUDAH TUA KAYA RAYA DAN MATI MASUK SURGA. Pada saat itu bahkan sampai saat ini saya tidak mengetahui siapa yg menciptakannya. Hanya saja sejak dulu dalam hati saya merasa kalimat itu  kurang ajar karena tidak mengajarkan apa-apa . Tiba di generasi anak saya beberapa istilah juga membuat saya tidak nyaman, contohnya; EMANG GUE PIKIRIN, ATAU CUEK AJA.  Istilah-istilah seperti di atas hidup di dalam masyarakat buktinya digunakan dengan gencar, tetapi yg mengkhawatirkan jangan-jangan pembelajaran ini justru menyemai dengan subur dan menjadi WATAK dari sebagian bangsa kita.

Pilihan-pilihan hidup yang tidak bermakna, dangkal serta bernuansa ngepop sepertinya tidak malu-malu memang dianut oleh anak muda sampai dengan politisi maupun yg duduk di pemerintahan. Berduyun-duyun orang ikut kegiatan yg serba ngepop dan menghasilkan uang dengan cepat tanpa harus berproses apalagi ada pengendapan. Sebetulnya pemahaman ini bila ditujukan pada anak remaja mungkin masih ada,  meski tidak patut dibiarkan karena kemungkinan tidak terbangun generasi yang kuat dan tidak memilih hidup yang suka potong kompas.

Watak ini kemudian mulai menampakkan hasil setelah para remaja yang dulu itu tiba-tiba ingin berganti baju menjadi politisi atau petinggi di lembaga-lembaga negara. Beberapa dari mereka kelihatannya benar-benar karbitan CUMA KARENA MERASA TERKENAL dan kemudian yang dijual adalah keterkenalan tersebut.  Meski demikian ada juga yang terpaksa melengkapi diri dengan embel-embel sarjana strata ini atau itu. Bagaikan terkena virus makin banyak yang terjangkit penyakit temannya, mereka yang tadinya sibuk menjual fisik, tiba-tiba merasa sanggup untuk memeras otaknya untuk memikirkan masyarakat dan bangsa.

Domain yang jelas-jelas membutuhkan kekuatan dari semua instrumen diri tiba-tiba terlihat mudah oleh kelompok ini. Tampaknya persepsi dangkal lebih mudah berkembang karena media terutama visual serta sikap kita sendiri sebagai masyarakat yang sering abai terhadap gejala yang tidak normal.

Para politisi yang tidak berasal dari kelompok di atas juga herannya memilih cara-cara yang ngepop dengan merasa layak saja untuk menggunakan atau mengadopsi penyelenggaraan IDOL ini itu yang penuh POLESAN sana sini. Termasuk iklan yang menjual image dan tidak murah MESKI MISKIN MAKNA. Memasuki domain yang tidak digeluti dengan sungguh-sungguh dan seolah menjadi biasa yang petinggi juga jadi artis, entah logika apa yang sedang berlangsung.

Cara-cara memikirkan hidup bernegara dan aktif diposisi tersebut, membutuhkan pribadi yang kuat, belajar melakukan terus menerus refleksi, tidak cepat merasa bahwa kalau yang lain bisa sayapun bisa, ada baiknya lihat ke dalam diri dan tidak mengidap WAHAM KEBESARAN. Meninjau ulang diri, keluarga serta masyarakat yang ada dalam pengalaman SUBYEKTIFNYA bagaimana mempertentangkannya dengan dunia OBYEKTIF sehingga terlihat seberapa besar jurang yang ada.

Bagi yang terpelajar kemungkinan artikulasinya ketika muncul di media terjaga dan mengkin terlihat cerdas, tetapi itu saja tidak cukup apalagi hadir karena kesadaran pada level pencitraan, yang kurang terpelajar seringkali mengadopsi kata-kata hebat tetapi tampak kaku dan belum menjadi bagian yang menyatu dengan dirinya, atau masih muncul kata-kata yang membuat penonton TV mengelus dada dan merasa seperti sedang di tempat yang tidak perlu serius memikirkan masalah negara.

Urusan penting bernegara  tidak mungkin dijalankan dengan kedangkalan serta ngepop. Tampaknya ada yang salah pada role model yang ditiru yang memang juga buruk. Anehnya kita sering lupa bahwa referensi tokoh dan pemikir kita banyak yang layak ditelaah kembali, mulai dari generasi proklamtor sampai dengan yang belum lagi lama meninggalkan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun