Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan/ kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha kuasa. Dalam kehidupan, kita perlu mempunyai pondasi dan dasar yang kuat untuk menjalani kehidupan baik di dunia maupun akhirat. Setiap orang memiliki iman dan keyakinan, tetapi tidak semua orang percaya pada yang Tuhan yang sama. Pendidikan agama biasa diajarkan sejak usia dini dalam lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan sekitar. Sejak beberapa tahun terakhir masyarakat Indonesia ramai membicarakan tentang wacana perlu-tidaknya pelajaran agama di sekolah. Munculnya perdebatan berasal dari perbedaan kepercayaan agama murid yang tanpa disadari, sekolah telah menciptakan perpecahan di kalangan siswa. Maka, benarkah pendidikan agama sebaiknya ditiadakan di sekolah?
Sayangnya, pelajaran agama di sekolah tidak fokus untuk mengajarkan dasar-dasar semua agama kepada anak-anak. Melainkan, fokus pada satu agama utama. Pertanyaan yang harus ditanyakan ketika melihat isu ini adalah bagaimana dengan orang-orang yang mempunyai iman yang berbeda. Mengizinkan pelajaran agama masuk ke kurikulum sekolah itu rumit dan tidak adil karena tidak semua murid mempunyai keyakinan dan agama yang sama. Misalnya, sangat tampak tidak adil jika seorang murid yang beragama Buddha ingin mendaftar ke sekolah demi pendidikan dan fasilitas yang didapatkan namun, sekolah itu mendidik ajaran agama Kristen. Tidak hanya bagi siswa, guru-guru juga dirugikan. Banyak sekolah yang mengatasnamakan sekolahnya pada hanya satu agama dan jika seorang guru ingin melamar pekerjaan tetapi agamanya tidak sesuai, guru tersebut tidak diperbolehkan untuk bekerja disana. Hal ini sangatlah bias.
Ditambah lagi, sebagian besar sekolah tidak memberikan hak kepada murid muridnya untuk memilih kelas atau mata pelajaran yang mereka ambil. Hal ini mungkin memberikan ide yang salah tentang agama. Agama adalah pilihan pribadi dan tidak boleh dijadwalkan atau dipaksakan pada seseorang. Di Indonesia, pendidikan agama diawasi oleh UU 20/2003, dimana pendidikan agama harus diajarkan dengan guru yang seagama. Selain itu, sekolah (swasta atau negeri) harus menyiapkan guru yang seagama dengan siswanya. Subjektif juga wajib bagi seorang siswa yang ingin lulus dan melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Pastinya, tidak ada orang yang suka dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak ingin mereka lakukan. Memaksa seorang anak untuk mempraktikkan agama yang mereka tidak mau dapat merusak pandangan keseluruhan anak tentang agama
Pendidikan agama sebaiknya menjadi tanggung jawab orang tua serta guru agama masing-masing (bukan guru di sekolah). Terdapat tempat-tempat di luar sekolah seperti masjid, gereja, pura, vihara, dan lainnya yang dapat mengajarkan agama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Siswa seharusnya diajarkan bahwa mereka hidup di tengah keanekaragaman. Bahwa keanekaragaman dan nilai-nilai budaya adalah hal hal yang menyatukan bangsa ini dan bukan agama
Penulis: Mirelda Tio & Natasha Wilfrid
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H