Mohon tunggu...
Mira Rahayu
Mira Rahayu Mohon Tunggu... -

saya berusaha untuk mengejawantah kehidupan dunia

Selanjutnya

Tutup

Puisi

SANG MAESTRO CINTA

30 Mei 2011   12:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:03 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

CHAPTER II

“Luth! Luthfi!,” Rino berlari menghampiriku dari belakang.

“Ada apa?”

“Jadwal barunya udah jadi kan?”

“Udah”

“Yeah!,” Rino tampak senang sekali,” Mana jadwalnya?”

“Masih di sini,” aku menunjuk kepalaku. Rino terbengong tak percaya melihatku.

“Kok belum kamu tulis sih? Aku udah pengen banget latihan kok!”

“. . .”

“Tahu nggak sih aku udah hafalin semua naskah kita semaleman. Udah gitu aku ma anak-anak kemarin juga latihan bareng di rumah Hany,” cerita Rino,” Eh, lo mau ke mana Luth? Luth!”

Aku berbelok ke tangga yang ada di sudut ruangan. Aku berlari ke atas secepat yang aku bisa sampai Rino tak terlihat lagi di belakangku. Akhirnya aku sampai juga di atap gedung sekolah yang selalu sepi. Aku berbaring di pojokan.

Teettttt!!! Teeeetttt!!!! Teeeettttt!!!!!

“Rino, Luthfi mana? Kok nggak masuk kelas?,” tanya Rena yang penasaran melihat Rino masuk ke kelas sendirian.

“Nggak tahu gue. Orangnya lagi depresi gara-gara anak magazine skul kita,” Rino duduk di belakang Rena. Rena berbalik menghadap Rino. Dia ingin tahu apa yang sedang terjadi pada Luthfi.

~*~

“Allen!!!,” Kak Vita menghambur ke arahku. Spontan aku segera menghindar agar tidak jatuh tertimpa tubuh Kak Vita yang lebih besar dari aku.

“Kenapa Kak?,” aku duduk di kursi sambil mengeluarkan buku biologi perpustakaan yang tebalnya sekitar empat ratus halaman itu.

“Dia stres ngeliput anak teater,” Kak Widi duduk di kursi dekatku,” Buku apaan nih?”

“Oh, itu buku not for sale dari perpustakaan but must be read buat anak olim bio Kak,” jawabku sambil memikirkan ucapan kak Widi barusan,” Anak teater ya? Berarti ada Kak Luthfi juga ya?”

“Yaiyalah! Secara dia leadernya gitu Len!,” jawab Kak Vita sewot.

“Yah! Jangan sewot donk Kak. Calm down please?,” pintaku kepadaku Kak Vita. Sayangnya Kak Vita masih saja menunjukkan wajah masamnya. Kak Widi tertawa kecil.

“Bantuin dia Len? Kasihan tuh,” pinta Kak Widi kepadaku.

“Ah. . . Kak Widi. . . aku kan nggak tahu apa-apa soal reporting activity Kak. Yang laennya aja deh?,” aku membuka halaman tiga puluh buku itu lalu membacanya.

“Iya Len! Bantuin aku donk? Mumpung masih ada waktu dua bulan sebelum majalahnya edar di sekolah dan masyarakat sekitar,” pinta Kak Vita juga.

“Emang apa sih yang bisa bikin Kak Vita kesulitan ngeliput anak-anak teater itu? Bukannya Kak Vita jago banget kalo disuruh ngeliput?,” tanyaku kepada Kak Vita.

“Apa sulitnya? Sulit banget Len! Anak teater itu beda ma anak-anak klub lainnya yang suka banget mejeng di magazine kita. Anak teater ini nggak suka diliput terlalu lama. Padahal kalo bukan karena request dari para pembaca. Gue nggak bakalan mau deh ngeliput mereka,” jelas Kak Vita penuh emosi.

“Masa sih?,” Aku ragu dengan penjelasan kak Vita itu. Kak Vita mengangguk yakin begitu juga Kak Widi.

“Aku nggak percaya,” kututup buku biologiku lalu memasukkannya ke dalam tas.

“Ok deh! Gimana kalo kita taruhan aja,” usul Kak Widi tiba-tiba. Seluruh pandangan mata pun tertuju ke arah Kak Widi.

“Taruhan apa Wid?,” tanya Kak Vita penasaran.

“Allen kan nggak percaya kalo sulit banget ngeliput anak teater, iya kan?,” tanya kak Widi retoris. Kami menganggukkan kepala.

“Kalo begitu gimana kalo Allen aja yang ngeliput?,” usul Kak Widi,” Kalo Allen berhasil ngeliput anak teater dengan hasil yang bagus. Aku bakal nambahin beberapa lembar halaman khusus buat ngulas K n J Pop. Setuju nggak?”

Aku terdiam sejenak memikirkan tawaran Kak Widi. Emang sih udah lama banget aku pengen ada beberapa halaman khusus buat bahas K n J Pop di magazine skul tapi selalu aja ditolak ma para senior dengan berbagai macam alasan.

“Gimana? Setuju nggak?,” tawar Kak Widi sekali lagi.

“Aku mau asal ditambah tiket makan gratis seminggu di kafenya kak Vita. Gimana? Setuju nggak?,” tanyaku menawar kembali persyaratan yang diajukan oleh Kak Widi. Kak Widi melirik Kak Vita.

“Ok deh. Aku setuju. Gratis satu minggu makan sepuasnya di kafe keluargaku asal kamu bisa gantiin tugasku itu,” ucap Kak Vita mantap.

“Yummy!,” aku berdiri dari kursiku dan beranjak keluar.

“Eh! Len! Tunggu bentar!,” panggil Kak Vita dan Kak Widi bersamaan.

“Ada apa Kak?”

“Aku minta videonya DBSK dong?,” pinta Kak Vita.

“Aku juga minta N.M.P.-nya Kattun ya?,” tambah Kak Widi.

~*~

Aku suka awan dan juga mega yang selalu berarakan di langit. Warnanya yang biru dan putih bercahaya terkena kilauan sinar mentari. Mereka sangat anggun sekali. Anggun seperti. . .

“Seperti apa?,” tanya seseorang dari sebelahku.

“Rena?!,” segera kututup buku catatanku yang berwarna hitam itu,” Ngapain kamu kemari?”

“Aku cuma mau nyapa kamu aja kok. Nggak boleh ya?,” Rena duduk di sebelahku.

“Boleh sih. . . tapi jangan kayak setan gitu donk Rin”

“Maaf deh Luth,” Rena tersenyum manis kepadaku,” Kamu tadi ke mana? Kok nggak masuk kelas?”

“Aku ijin ke UKS. Lagi nggak enak badan”

“Kamu sakit gara-gara mikirin anak magazine itu ya?,” tanya Rena kepadaku. aku memandangi wajah ayunya itu. Darimana dia bisa tahu soal itu?

“Pasti Rino ya yang cerita?,” tebakku.

“Iya. Tapi aku kok yang minta”

“Terus?”

“Boleh nggak aku bantu kamu?”

“Bantu? Gimana caranya?”

“Kita tukar tempat latihan aja. Anak teater latihan di tempat latihan anak tari dan sebaliknya. Gimana? Mau nggak?,” tawar Rena padaku. Aku terdiam memikirkannya.

“Kamu nggak usah khawatir. Anak-anak seni tari setuju kok. Lagian tempat latihan anak teater lebih dekat dengan ruang kelas jadi anak-anak tari nggak perlu capek-capek jalan ke gedung tari yang terpencil di gedung belakang sekolah kita”

“Baiklah. Aku mau,” ucapku setuju. Rena tersenyum senang mendengar ucapanku.

~*~

“Ini,” kuberikan secarik kertas kepada Rino. Rino membacanya dengan saksama.

Good job Luth!,” Rino menepuk punggungku keras.

“Biasa aja kenapa sih Rin!,” kuusap-usap punggungku yang sakit akibat tepukan keras Rino.

Sorry Bro! Abis enak banget kerja ama lo. Semuanya selesai seperti yang diinginkan. Perfect deh!”

“Iya. Terserah apa kata lo. Yang penting anak-anak kasih tahu soal itu. Minggu depan kita aktif seperti biasa,” aku berjalan keluar kelas mendahului Rino.

“Sip Bro!,” ucap Rino senang,” Eh! Mau ke mana lo Luth! Tungguin gue donk! Luth!”

Rino bergegas pergi mengejarku yang sudah berjalan menuruni tangga sekolah.

~*~

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun