(Buat Umbu Landu Paranggi)
Begitulah hari ini. Kian mengurangi rasa, kian menambah haus.
Duduk, lalu merebahkan diri, sambil tanya "ada apa hari ini?" di setiap jentikan suara jam.
Dunia ini sibuk hingga aku terus membiasakan diri
Seperti melemparkan diri ke satu dunia ke dunia lain.
Sampai tak jarang babak belur karena menabrak dinding, tercebur kolam, atau terbentur batu.
Zaman yang bisa melipat-lipat waktu dan tempat, katanya.
Bukan Malioboro tahun 70-an yang hanya sedikit kuintip dari teropong romantis dan nostalgia guruku.
Aku tak ingin kesepian, oleh karena itu harus membiasakan diri dengan waktu yang tak ramah.
Berseloroh dengan kata-kata dingin tanpa api.
Tak ada tungku,
atau api unggun.
Kau harus bersiap jika ada badai esok, tak ada sajak dalam angin.
Hanya, debu dan rasa kesal yang tertiup.
Aku terlelap di teras rumah, cafe, kantor.
Buka mata dengan berat dan ingat, "sebelumnya sampai mana?".
Kembali susuri sungai gosip dan hujatan, bersama para pencari ular dan keong lain yang saling sikut.
Aku terkesiap, senja tiba tanpa keindahan seperti yang pernah seorang Sukab culik dalam kantong celananya.
Musik tiba-tiba bertempo cepat, aku pun harus segera bereskan adegan ini.
Menerjang bagai kuda merah musim buru.
Tak ingat sejak kapan aku jadi wayang.
Tak ada lagi karangan kubuat.
Kau hanya melihatku mengunting dan mengelem sampai sebuah jentikan jari memintaku berhenti.
Sebenarnya, aku berusaha waras setelahnya.
Lalu balik khawatir jika esok, jika nanti, jika tua, dan jika lainnya.