Beberapa waktu lalu saya bersama Faiz (7 th) keponakan saya, pergi bermain ke suatu tempat. Seperti biasa perjalanan tak lengkap bagi anak-anak jika tidak dilengkapi jajanan. Faiz memilih susu kemasan sebagai jajanannya, setelah sebelumnya meminta persetujuan saya terlebih dahulu. Maklum, tantenya cukup cerewet kalau dia mulai jajan yang aneh-aneh. Singkat cerita dibelilah susu kemasan tersebut, dan di tengah perjalanan menuju tempat kami memarkir mobil dia mulai membuka susu kemasan tersebut dan meminumnya dengan santai.
Melihat aksinya tersebut, kontan saya langsung berkomentar “Minumnya kok sambil jalan dek?! Kaya kambing aja”. Dan dengan santai pula dia menjawab “Kambing kan ngga punya tangan, mana mungkin bisa minum sambil jalan, kan ngga bisa pegang susu sambil jalan”. Seketika hening, ada rasa geli dan kagum menjadi satu. Iya juga ya, kambing kan tidak punya tangan, jadi bagaimana ceritanya dia bisa minum sambil jalan-jalan.
Maksud saya dengan memberi analogi “kambing” itu sebetulnya ingin mengingatkan dia untuk minum sambil duduk, karena minum sambil berdiri itu tidak baik. Gaya saya mengingatkan memang cukup oldies, karena begitu pula saya dulu diingatkan oleh ibu saya jika minum sambil berdiri atau berjalan. Tapi ternyata saya lupa, bahwa sekarang zaman berubah dan anak-anak lebih kritis dan dapat berpendapat lebih terbuka. Sehingga bagi mereka, gaya mengingatkan dengan analogi seperti itu menjadi kurang logis dan tidak dapat diterima.
Karena maksud dari pesan saya dengan analogi “kambing” tadi belum tertangkap, akhirnya saya rubah kalimat menjadi: “Begini maksudnya dek...kalau adek minum sambil jalan selain memang tidak baik, adek juga bisa tersedak loh, karena badan adek kan bergerak-gerak waktu jalan jadi susu-nya ga bisa masuk ke perut ade dengan lancar... jadi lebih bagus kalau adek minumnya sambil duduk aja”. Setelah saya menyampaikan itu dia terdiam, berhenti minum dan berpikir. Saya kembali bertanya “Kok berhenti minumnya?”. Dia lalu menjawab “nanti aja di mobil minumnya”. Yes! senyum kemenangan terkembang di wajah saya.
Poinnya bukan masalah saya berhasil mematahkan argumen Faiz tentang “Si kambing tak punya tangan”, tapi karena dua hal: (Pertama) Saya berhasil memahami bahwa anak kritis sebetulnya dapat diajak bicara dan berpikir dengan gaya bahasa yang dipahaminya. (Kedua) Pesan saya yang utama tentang “minum sambil berdiri” dapat tersampaikan dengan jelas sehingga itu yang akan menempel di ingatan anak, dan bukan analogi “kambing”-nya yang dia ingat.
Mungkin tidak sedikit orangtua yang cukup kerepotan untuk menghadapi ke-kritis-an anak. Bersikap menghindar dan mengalihkan pembicaraan tentunya bukan satu cara solutif. Menghadapinya dengan logika sederhana yang dapat tertangkap oleh kemampuan berpikirnya sepertinya dapat membantu, karena komunikasi yang baik adalah komunikasi yang pesannya tersampaikan dengan baik kepada komunikan, dalam hal ini adalah anak. Dengan adanya komunikasi yang baik dan lugas dengan anak diharapkan dapat menjembatani miss-persepsi yang sering terjadi antara maksud orangtua dan keinginan anak. Dan tentunya ini akan membantu anak untuk membangun pribadinya kelak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H