Mohon tunggu...
miranda janice
miranda janice Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

saya hobi membaca buku

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kasus Korupsi PT Timah Tbk, Potret Buruk dan Momentum Pembenahan Tata Kelola Sektor Ekstraktif

21 Juni 2024   21:47 Diperbarui: 21 Juni 2024   21:47 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kasus Korupsi PT Timah Tbk : Potret Buruk dan Momentum Pembenahan Tata Kelola Sektor Ekstraktif

Oleh :

Miranda Janice Fazha Cleorysta Harmoko

Mahasiswa Universitas Airlangga

PT Timah Tbk merupakan bagian dari MIND ID yang bergerak di bidang pertambangan timah, batu bara, dan nikel. Hingga pada akhir tahun 2021, perusahaan ini memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Riau dan Bangka Belitung seluas 45.009 hektar yang mengandung cadangan timah sebanyak 300.000 ton. Kasus korupsi yang terjadi melibatkan PT Timah Tbk merupakan salah satu contoh nyata dari masalah yang terjadi dalam sektor ekstraktif di Indonesia telah mengguncang reputasi dan mengungkapkan sejumlah kelemahan dalam tata kelola sektor ekstraktif di negara ini. 

Kasus ini menimbulkan banyak pertanyaan dan kontroversi serta menyoroti permasalahan korupsi yang masih ada di Indonesia. Kasus itu bermula dari dugaan korupsi di wilayah izin pertambangan PT Timah Tbk antara tahun terkait tata niaga komoditas timah. Adanya kasus korupsi PT Timah Tbk mengungkapkan adanya praktik korupsi dan nepotisme yang merajalela dalam perusahaan tersebut. Beberapa pejabat perusahaan diduga melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri, melanggar etika bisnis, dan merugikan kepentingan perusahaan serta masyarakat. Tindakan korupsi ini tidak hanya mencoreng reputasi PT Timah Tbk, tetapi juga merusak kepercayaan investor dan merugikan negara secara finansial. Selain itu, kerugian akibat kejadian ini diperkirakan mencapai Rp 271 triliun. Kerugian sebesar 271 triliun rupiah meliputi kerusakan hutan di Bangka Belitung dan kerusakan ekonomi, ekologi dan lingkungan yang signifikan.

Perhitungan para ahli lingkungan hidup di Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi dasar penilaian kerusakan ini. Dampak lingkungan dari peristiwa ini sangat penting dan tidak dapat diabaikan. Kasus ini menarik perhatian publik karena nama - nama yang terlibat dan besarnya kerugian yang ditimbulkan. Kerugian sebesar 271 triliun merupakan angka yang sungguh mencengangkan dan sulit dibayangkan oleh sebagian besar orang. Jumlah tersebut melebihi anggaran negara untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Kerugian ini tidak hanya signifikan, tetapi juga hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga peradilan.

Dalam kaitan ini, penting bagi kita untuk bertanya: Bagaimana korupsi seperti ini bisa begitu luas dan bertahan lama? Hal ini mencerminkan perlunya reformasi sistem peradilan dan hukum pada setiap orang, tanpa memandang status sosial dan kekayaan, dapat dihukum secara layak atas korupsi yang mereka lakukan.

Kasus korupsi ini menimbulkan kerusakan lingkungan hingga Rp 271 triliun. Kerusakan lingkungan yang disampaikan Kejagung berdasarkan perhitungan Bambang Hero Saharjo, pakar lingkungan hidup Institut Pertanian Bogor (IPB). Penilaian kerusakan lingkungan tersebut disampaikan Bambang dalam konferensi pers yang digelar di Kejaksaan Jakarta Selatan, Senin (19/2/2024). Menurut Bambang, jumlah tersebut merupakan perhitungan kerusakan lingkungan kawasan hutan dan non hutan. Ia membahas perhitungan kerugian kawasan hutan dan non hutan. "Untuk kawasan hutan, kerusakan lingkungan ekologi sebesar Rp157,83, kerugian lingkungan ekonomi sebesar Rp60.276, pemulihan sebesar Rp5.257. Hilangnya kawasan hutan saja sebesar Rp223.366.246.027.050," jelasnya. Berikut merupakan data yang didapat dari pernyataan Bambang.

Pemerintah dan otoritas terkait harus melakukan langkah-langkah konkret untuk mencegah dan menindak korupsi dalam sektor ini. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:

Penguatan Pengawasan: Pemerintah perlu memperkuat lembaga pengawas dan regulator dalam sektor ekstraktif, seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pengawasan yang ketat dapat mengurangi peluang terjadinya korupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun