Kemarin beberapa hari lalu di tanggal 14 Maret 2015 saya menonton konser Raya Iwan Fals di NET. Walau telat hanya kebagian nonton beberapa lagu di lap terakhir, tak urung membuat kekaguman saya pada sosok Iwan Fals serasa bangkit lagi. Beberapa penyanyi papan atas turut bersama Iwan Fals berkolaborasi dalam tajuk acara berjudul Nyanyian Raya tersebut. Namun tetaplah, fokus utama adalah sang legenda itu sendiri. Semalaman saya jadi membaca-baca ulang tentang Iwan Fals dan mendengarkan lagu-lagu lama Iwan Fals yang saya sukai.
Ingatan saya kembali pada jaman tahun 80-an. Saat itu saya masih SD. Perkenalan saya dengan lagu Iwan Fals adalah di suatu hari saat saya yang masih duduk di kelas 4 SD mengacak-acak laci tempat kaset dan lemari berisi piringan hitam orang tua saya. Di antara lagu-lagu Elvis Presley, Jim Reeves, Nat King Cole, dan lagu-lagu klasik seperti gesekan biola Mozart dan Bach, saya menemukan sebuah kaset bersampul pria berambut keriting acak-acakan dan saat itu belum berkumis. Wajahnya biasa saja, namanya juga anak kelas 4 SD, mana tahu saya cowok itu cakep apa engga. Tertarik saya menyetelnya, bukan karena judul album Sarjana Muda, atau tatapan mata sendu di sampul itu. Tapi di antara kaset-kaset Barat dan lagu-lagu Indonesia seperti Bimbo kesukaan ibu saya, kok ada kaset yang nyeleneh begini. Pastinya punya bapak saya, yang kadang-kadang beli kaset lagu dangdut, kebalikan selera dari ibu saya yang doyan musik klasik.
Saya setel berulang-ulang dan segera saya menyukai lantunan lagu-lagu di kaset itu. Suara di kaset itu tidak fals seperti nama penyanyinya. Kadang ada sih lagu yang dinyanyikan cempreng namun riang seperti lagu Oemar Bakrie dan Ambulan Zig Zag. Lagu-lagu lainnya menyentuh hati. Saya tidak menyimak kalimat dalam syair lagunya, namanya juga anak SD, tapi saya sangat menyukai lagu Hatta dan Sarjana Muda, karena sangat sedih namun enak didengar. Lagu cinta lain seperti lagu Yang Terlupakan menjadi hapalan, segera saja kaset Iwan Fals tersebut saya putar berulang-ulang sampai belel dan kadang kusut pitanya dan harus diputar ulang dirapikan pakai pinsil. CUma orang jadul yang tahu teknik beginian lho.
Menginjak SMP, masih saja lagu Iwan Fals menemani. Inilah hebatnya Iwan Fals, ditengah maraknya gempuran lagu-lagu asing, Freddie Mercury sedang jaya-jayanya, ga tau lagu Radio GaGa dan I Was Born to Love you gak gaul deh pokoknya, Madonna lagi ngetop sengetop-ngetopnya, Cindy Lauper, Tiffany,Debbie Gibson itu lagu-lagu saya waktu di SD dan SMP. Belum lagi Beatles masih kerap dinyanyikan band-band lokal, Iron Maiden, Kiss Led Zeppelin, AHA dan The Police, posternya dimana-mana bahkan di pasar dan terminal juga dijual di daerah pantura tempat saya tinggal. Tapi tetap saja kalau kita nongkrong di kantin sekolah sambil nyolong gorengan (ngaku makan satu padahal lima), kami anak-anak SMP suka sekali menyenandungkan lagu Buku ini Aku Pinjam. Nyaris jadi lagu kebangsaan mengalahkan lagu-lagu wajib di hari Senin saat upacara.
biru
Saya ingat di saat uang jajan saya cuma Rp 5000,- sampai dengan Rp 10.000 saja, -limaribu atau sepuluh ribu itu sebulan ya bukan sehari, dan saya ingin sekali membeli kaset baru. Teman-teman saya lagi gemar membeli lagu-lagu festival seperti Harvey Malaiholo dan Bornok Hutauruk. Dengan uang jajan sebesar itu tentu saja saya harus nabung mengorbankan tidak beli bakso, minuman dingin sirop dengan perisa entah apa dan pastinya diberi pewarna tekstil diberi es yang dingin, atau harus jalan kaki berkilo-kilo meter jauhnya di terik matahari pematang sawah pantai utara yang ganas sepulang sekolah demi menyisihkan uang jajan. Ga naik becak atau naik omprengan. Demi kaset saya rela.
Suatu hari setelah uang saya terkumpul untuk membeli kaset, saya pergi ke pasar desa di pantura tersebut. Pasar ini menyatu dengan terminal, bau amis ikan, lumpur yang bau dan banyak preman. Bahkan konon pelarian pembunuh dari Nusa Kambanngan dari kota kerap lari ke daerah ini. Konon loh ya, saya sendiri sih merasa aman tenteram tinggal disana. Kepala preman di pasar ini soalnya dulu adalah anak tetangga ibu saya di Bandung dan kerap berjualan lontong dan es lilin buatan ibu saya, yang kemudian lari ke pasar ini setelah menggetok temannya dengan botol minuman sampai ..entahlah nasibnya bagaimana.
Toko kaset satu-satunya itu kecil saja dan kurang layak disebut toko karena berupa lapak, berada di bagian kanan belakang pasar, dekat dengan tukang kain dan peralatan kelontong. Kasetnya tidak banyak tentu saja, dan kaset-kaset tersebut dijejerkan bersama jualan lainnya, seperti koin kuno tembaga jaman Hindia Belanda, pisau lipat, kalung-kalung metal dan emblem pramuka. Saat saya akan membeli kaset Festival yang saya incar, saya melihat kaset berwarna biru telor asin, dengan sampul wajah pria berkumis dan berambut keriting dengan judul album Aku Sayang Kamu. Seketika saya goyah, antara kaset Iwan Fals atau lagu-lagu festival. Sebenarnya kalau dulu cewek suka lagu-lagu Iwan Fals agak anti mainstream, yang lain demennya Trio Libels dan Chrisye. Yang suka Iwan Fals adalah cowok-cowok bengal doyan bolos yang suka main gitar di sekolah sambil ganggu cewek lewat. Setelah menimbang, memikirkan, dan ngitung duit recehan yang saya punya yang dibungkus sapu tangan, akhirnya karena cuma cukup beli satu kaset saja, saya beli kaset Iwan Fals. Lagu-lagu cinta Iwan memang tidak biasa, liriknya nakal, blak-blakan dan cuek. Kita bisa menemukan kalimat tidak biasa untuk menunjukkan rasa suka dan pemujaannya. Seperti kata “betina”, “wajah lumayan dapat poin enam”, -ini suka tapi kok ngeledek ya? Belum lagi kata-kata “Sampai mampus aku rindu”. Tidak umum kan?
Kelas tiga SMP, Iwan Fals tambah bergaung namanya di semua kalangan rupanya. Bayangkan saya ini tinggal di desa terpencil. Siapa yang tak tahu Iwan Fals di sekolah saya? Juga protes-protes sosialnya semakin garang terdengar, jaman itu yang berani menentang Orde Baru ya sama saja siap dihilangkan, baik secara baik-baik atau misterius. Suara Iwan Fals adalah suara rakyat, sengaja tidak sengaja terwakili lewat lagu-lagunya. Peristiwa yang terjadi dalam keseharian, dari kenaikan bensin, sampai penggusuran, cerita pelacur, dan gali, anak penjual koran, dan wakil rakyat yang tukang tidur saat sidang, kelaparan Ethipia, bencana kapal tenggelam, tabrakan kereta, tak luput dipotret oleh Iwan Fals dan disenandungkan dengan lagu-lagu yang bertema balada, kadang ngerock and roll, kadang lembut mendayu. Banyak lah. Selera macam-macam orang pun terwakili di sana. Kita bisa mengingat peristiwa dalam 40 tahun ini melalui lagu-lagu Iwan Fals. Juga saat kita jatuh cinta, saat patah hati, saat rindu ibu, rindu pemimpin, seolah-olah lagu Iwan Fals adalah sound track bagi hidup saya dan mungkin juga yang lainnya dalam masa dari akhir tahun 70-an sampai dengan sekarang.
Saya ingat sekali teman pria saya di kelas tiga SMP, sempat datang di suatu sore naik sepeda ke rumah saya. Di bawah pohon kersen, kami duduk-duduk sambil waspada, takut bapak saya nongol. Soalnya bapak galak banget dan tidak suka kalau ada anak cowok datang ke rumah dengan alasan apapun. Kecengan saya ini cakep sekali, mirip Galang Rambu Anarki anaknya Iwan Fals almarhum. Tapi cakepan Galang sih. Dia membawa kaset dengan lagu Bento. Berapi-api dia bercerita lagu yang kontroversial tersebut, dan menyetelnya di walkman kecil yang dibawanya. Saya jadi suka. Eh gak jelas nih, suka lagu Bento atau sama cowok teman saya itu ya?.
Sampai saat SMA di Bandung, lagu-lagu Iwan Fals masih tak lekang digempur lagu-lagu luar. Yang cewek lagi demam New Kids on The Block. Yang cowok lagi demen metal. Kalau pulang sekolah sudah pasti anak-anak cowok akan memainkan lagu -lagu kebangsaan mereka, Never Say Goodbye-nya Bon Jovi, lagu-lagu manisnya Fire House, White Lion, dan metalnya Metallica, Skid Row, dan lainnya, tapi tak akan terlewat juga itu lagu satu itu, PESAWAT TEMPUR-nya Iwan Fals. Dan entah kenapa kalau cewek-cewek lewat bisa ngepas liriknya pas menyanyikan “KALAU HANYA SENYUM YANG ENGKAU BERIKAN… WESTERLING PUN TERSENYUM!!” dan kami cewek-cewek akan lewat sambil malu-malu.
Saat saya membaca putra kesayangan Iwan Fals meninggal, sayapun menangis sedih. Lucu ya, kenal saja tidak sama Iwan Fals, tapi rasanya kesedihan dan kepiluannya Bang Iwan dan Mba Yos begitu terasa, mungkin karena kita mengenal putra sulungnya lewat lagu Galang Rambu Anarki, kebahagiaan seorang ayah, rasa heran dan campur aduknya memiliki anak pertama, kita turut merasakan lewat lagunya, dan saat kepergiannya kita pun serasa berempati juga karenanya. Lama berselang di tv saat saya melihat Iwan Fals kembali menyanyikan lagu tersebut bersama sang istri, tak terasa air mata saya menetes. Tegar mereka bernyanyi, namun alangkah sedih rasanya.
Dan kini saat saya memiliki anak-anak yang sudah besar-besar, saya kagum karena anak-anak saya juga senang memainkan lagu Iwan Fals baik di piano maupun di gitar. Tahukah mereka bahawa ibunya dibesarkan dengan lagu-lagu yang sama? Iwan Fals sudah melewati tiga generasi, atau mungkin lebih, karena saat Iwan Fals ngetop dulu kakek saya kan masih ada, dan namanya masih berkibar dan dicintai oleh masyarakat.