[caption id="attachment_204791" align="alignleft" width="640" caption="saya dan teman2. pic by abiwara"][/caption] Bandung walaupun sudah heurin ku tangtung, yang artinya padat dengan bangunan dan juga penduduknya, sebagai kota di pegunungan yang diminati pengunjung karena memiliki banyak tempat yang menarik untuk wisata alam, wisata belanja dan wisata kuliner. Sebetulnya masih menyimpan sudut-sudut cantik tempat bersejarah peninggalan masa lalu, yang berpotensi untuk wisata budaya, juga memiliki tempat-tempat untuk menimba ilmu pengetahuan seperti pusat teropong bintang Bosscha dan berbagai museum, yang dapat dikunjungi untuk wisata pendidikan. Untuk itu, janganlah cuma belanja dan makan melulu di mall kalau datang ke Bandung. Sekali-kali belanja dan makan di tempat bersejarah ada baiknya. [caption id="attachment_204793" align="alignleft" width="324" caption="salah satu toko jl braga. dok pribadi"]
[/caption] Tulisan saya ini ingin mengajak pembaca mengenal keindahan seruas jalan lama di kota Bandung, jalan
Braga yang dulu termashyur dan kesohor. Nah, bila ingin menikmati sekelumit suasana Bandung tempo dulu, bersantailah sejenak di jalan Braga. Jalan tua yang bernama Braga sejak tahun 1882, di kota Bandung yang sempat dikenal dengan sebutan Parijs Van Java. Kota Parisnya Jawa, demikian orang Belanda dulu menyebut keindahan kota Bandung. Jalan Braga ini salah salah satu tempat yang menjadikan kota Bandung mendapat sebutan tersebut karena keindahannya. Saat ini memang banyak bangunan dengan arsitektur awal di jalan Braga sudah malih rupa menjadi bangunan berdesain modern. Atau tertutup dengan papan reklame besar yang menutupi bentuk bangunan aslinya. Namun di beberapa toko atau bangunan masih tersisa wajah-wajah lama yang antik dan khas. Adapun jalan Braga dengan batu pecah berbentuk persegi panjang yang sempat dipasang oleh pemerintah kota Bandung, yang pada awalnya mungkin dipasang untuk memperbaiki kembali citra jalan Braga sebagai jalan yang cantik dan
elite, saat ini sudah banyak mengalami kerusakan dan pecah-pecah, namun tidak segera mendapat perawatan segera. Sangat disayangkan sebenarnya. Dari buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe karya Haryoto Kunto, jaman dahulu di Jalan Braga yang sempat dijuluki sebagai "de meest Europessche winkelstraat van Indie" atau komplek pertokoan Eropa yang paling terkemuka di Hindia, ada sebuah gedung serba guna bernama Societeit Concordia (sekarang Gedung Merdeka) yang terletak di ujung jalan Braga. Gedung ini teramat ekslusif sehingga anggotanya terbatas orang Eropa saja atau orang non Eropa yang sudah mendapat "persamaan" atau para pemuka masyarakat atau "orang gedean" di jaman itu. Saking ekslusifnya bahkan orang Belanda bila berpangkat rendah tidak dapat berleha disana. [caption id="attachment_204795" align="alignleft" width="316" caption="lukisan di trotoar. dok pribadi"]
[/caption] Sampai tahun 80-an, saya ingat jalan Braga masih dikenal sebagai tempat belanja ekslusif. Saat itu yang namanya mall belum ada di kota Bandung. Departement Store yang baru dibangun adalah Palaguna, yang sekarang sudah jadi bangunan tua bobrok, yang saat ini terlihat baru akan direnovasi setelah sekian lama terbengkalai dan mengalami "pengumuhisasian" yang parah. Saat itu hanya untuk membeli es krim saja di jalan Braga di salah lebih satu restoran disana, orang kebanyakan perlu memikirkan baik-baik, karena kudu merogoh saku lebih dalam. Demikian juga dengan berbelanja perhiasan, pakaian atau perabot rumah tangga. Berbelanja di jalan Braga sempat menjadi 'trade mark' untuk kaum papan atas di kota Bandung sebagai tempat belanja ekslusif. Berbeda kelasnya bila membeli mebel di jalan Braga dibandingkan dengan membeli dari Jamika atau Kosambi misalnya. Mungkin kalau mau iseng mencari persamaan, dulu jalan Braga diibaratkan Via Condotti di Roma, Italia Braga saat ini sudah lain dengan Braga dulu yang terkenal karena tempat pertokoan elite-nya. Saat ini Braga sudah tidak ekslusif milik kocek kaum elit, mall-mall besar sudah menyingkirkan jalan Braga dan toko-toko keren disana menjadi jalan yang mirip dengan kunjungan ke museum, untuk melihat sepotong peninggalam masa lalu. Tapi buat saya, jalan Braga tetap indah, tetap klasik, tetap romantis. Tetap layak dilestarikan sebagai jalan bersejarah. Sayang sekali bila wajah kota sisa jaman dulu harus digerus dengan modernisasi yang menghilangkan keindahan bangunan lama disana. Biarlah wilayah kota dengan pertokoan dan bergedung tua yang sebetulnya tak berapa luas ini menjadi obyek wisata yang menarik orang datang untuk mengagumi keantikan dan keanggunannya.
[caption id="attachment_204798" align="aligncenter" width="500" caption="sumber hidangan interior. dok pribadi"]
[/caption] Nah kembali pada tempat makan dan pertokoan di jalan Braga. Apa sih yang asik untuk dikunjungi? Untuk penikmat makanan dengan suasana tempo dulu, salah satu restaurant di Braga yang masih bertahan dengan keantikannya di tengah gempuran jaman adalah resto Sumber Hidangan. Resto yang menjual aneka hidangan dan kue-kue jaman dulu di jalan Braga No 20-22 Bandung ini, masih mempertahankan interior lamanya. Meja kasir dari kayu yang tinggi di sisi ruangan berpelitur warna gelap. Mesin penghitung uangnya masih ada dengan tape model tua. Demikian juga dengan alat penimbang kue. Kursi dan mejanya juga model lama, dan duduk terasa berada di astmosfer yang lapang karena langit-langit ruangan sangat tinggi. [caption id="attachment_204799" align="alignleft" width="300" caption="Bistik Sumber Hidangan. Dok Pribadi"]
[/caption] Makanan favorit saya adalah bistik. Daging has dalam ini terasa empuk dengan bumbu yang menurut saya seperti bistik buatan rumahan yang dimasak ibu saya. Sayuran dan kentangnya pun dipotong sederhana, bahkan dihidangkan dengan piring dengan pola pinggir berhias, khas piring hias jaman nenek saya dulu. Es krimnya buatan sendiri, alias
home made. Cita rasanya asli tanpa pengawet dan pewarna buatan. Kue-kuenya ada kaastengel dan nastar, yang ukurannya besar, dan kue-kue kering lainnya berbumbu spekkoek yang terasa kayu manis dan bubuk palanya. Juga ada roti hangat yang baru dibuat berbungkus kertas coklat. Harga semua makanan disana tidak mahal. Sangat bersaing dengan kafe-kafe di mall modern. Lebih menyenangkan karena suasananya sangat tempo dulu. Bahkan nota pembelian adalah nota model lama bertulis tangan. Klasik. Selain makanan, di Braga banyak pelukis yang menjual karyanya di trotoar pinggir jalan. Warna-warni lukisan ini menjadikan objek foto yang menarik dan dinamis. Kontras dengan warna latar belakang gedung yang tua dan bercat putih. Galeri lukisan dengan buah tangan khas Jawa Barat seperti wayang pun dapat diperoleh di jalan Braga. Ada toko-toko buku yang masih bertahan, terkadang kita dapat menemukan buku-buku tua yang lama tidak dicetak ulang. Toko barang antik masih terdapat beberapa di Braga, dan untuk yang ingin suasana lebih modern, beberapa kafe dengan
live music bingar tampak ramai oleh wisatawan asing, saya pernah melihat sambil lewat di suatu malam disana. Sayang sekali untuk bangunan asli restoran Maison de Bogerijen di jalan Braga saat ini sudah tidak ada. Disebut sebagai cafe resto dan penjual kudapan paling centil ini, menulis semua menunya dalam bahasa Perancis, sampai-sampai perkedel jagung pun ditulis dengan 'croquettes de mais'. Memang centil sekali. Dari foto lama, meja dan kursi berpayung tampak memenuhi terasnya sehingga pengunjung resto dapat duduk-duduk sambil cuci mata dan menikmati udara segar walau jam satu siang. Maklum jaman dulu Bandung masih dingin sejuk. Jalan Braga atau Bragaweg ini pada awalnya bernama Karrenweg, atau jalan Pedati. Dinamakan demikian karena jalan ini banyak dilalui oleh pedati yang lalu lalang disana. Bila ditinjau dari pendirian Perkumpulan Tonil Braga pada tahun 1882 disana, dapat dianggap bahwa nama jalan Braga sudah ada lebih dari seabad silam. Namun menurut MA Salmun, seorang sastrawan Sunda, mengatakan bahwa jalan sepanjang sungai disebut dengan 'Baraga' sehingga apabila berjalan menyusuri jalan tersebut maka disebut '
Ngabaraga', mungkin inilah asal nama Braga. Dimana memang jalan tersebut tak jauh dari aliran sungai Cikapundung. Saat ini berjalan sore sepanjang jalan Braga, masih menyisakan romantisme masa lalu. Hanya saja, kemacetan jalan dan asap kendaraan, sangatlah mengganggu kenyamanan pejalan kaki. Belum lagi banyaknya kendaraan yang diparkir sepanjang jalan membuat kenyamanan juga banyak berkurang. Saat jalan Braga ditutup untuk festival seni, saat itulah menjadi menarik untuk menyusuri jalan Braga. Walaupun membawa kendaraan kesana sangat tidak disarankan karena sulit parkir. Lebih tepat naik kendaraan umum, namun kendaraan umum nyaman aman tenang masih menjadi kerinduan mendalam yang belum terlaksana bagi banyak warga perkotaan di Indonesia. [caption id="attachment_204924" align="alignnone" width="570" caption="suasana saat braga festival. dok pribadi"]
[/caption] Oh ya Braga Festival di tahun 2012 ini akan diselenggarakan tanggal 28-30 September 2012. Sedianya tahun ini akan diikutsertakan peserta pameran dan festival dari luar negeri, diantaranya dari negara Malaysia, Cina, Korea, Jerman, dan Jepang, sehingga akan lebih memperkuat citra yang lebih baik untuk kota Bandung dan negara Indonesia, dan menjalin hubungan internasional yang lebih baik lagi. Festival ini akan menjadi ajang festival terbesar di Jawa Barat. Kita nantikan tanggal mainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya