Mohon tunggu...
Mira Marsellia
Mira Marsellia Mohon Tunggu... Administrasi - penulis kala senggang dan waktu sedang luang

You could find me at: http://miramarsellia.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Jepang Namanya Kamado

15 Agustus 2012   16:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:43 903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_200426" align="aligncenter" width="420" caption="Hawu. Dok Pribadi"][/caption] Menurut saya, tungku dengan bahan bakar alami, paling bisa menghasilkan aroma masakan yang khas. Bayangkan pepes ikan mas berbungkus daun pisang dengan banyak macam bumbu-bumbu rempah. Memikirkan rempah, sejenak membuat saya menerawang apa yang terjadi andaikan bangsa di dunia barat dulu  tidak mengejar-ngejar merica dan pala  yang membuat Indonesia dijajah 3,5 abad itu. Mungkin negara kita masih berbentuk kerajaan-kerajaan dan bahasa Indonesia tidak menjadi bahasa persatuan. Mungkin saya akan berbahasa Tarzan dengan teman saya yang dari Maluku. Mungkin. Nah kembali pada pepes ikan mas. Pepes ikan mas bungkus daun pisang bumbu aneka rempah ini, paling enak kalau kita benamkan pada abu panas di tungku. Masaknya pelan-pelan saja. Bisa berjam-jam, sambil kita melakukan hal-hal lain, misalnya mengepel lantai dan menanak nasi. Aromanya? Hmmm jangan tanya. Mungkin proses masak dengan pembenaman pada abu panas masak pelan ini, agak mirip dengan metode memasak ayam pengemis yang asalnya dari kota Changsu, nun jauh di China. Ayamnya diberi bumbu, dibungkus daun teratai, dibulen (dilumuri) dengan lumpur tanah liat, dan dibakar pelan. Konon, dari kebocoran lumpur yang mengeras itu ataupun setelah dibuka, wanginya bisa menempuh jarak yang jauh. Berlebaran di kampung setiap tahun yang saya kangeni adalah termasuk memasak di tungku ini. Hawu, orang Sunda menyebutnya. Dulu untuk menjaga api, baik ingin besar ataupun kecil, memakai buluh bambu, yang kita sebut Songsong. Meniup-niup api dengan songsong didepan hawu ini, paling top bila duduk di atas Jojodog, bangku atau dingklik kecil yang selalu tersedia di dapur atau pawon, dalam nama bahasa dulu. Satu set hawu, jojodog, dan songsong ini akan membuat Anda tampak seksi berada di dapur. Oke seksi mungkin kurang tepat, kita sebut saja klasik. Bentuk hawu yang saya kenal di kampung, adalah memanjang dengan dua lubang di atasnya  untuk meletakkan perangkat masak, dan lubang memanjang di sisi lain sebagai tempat pembakaran. Nah untuk bahan bakar ada tahapannya, dan ada macamnya. Bahan bakar terdiri dari bahan bakar mudah terbakar tapi cepat habis dan bahan bakar sulit terbakar namun awet nyalanya. Bahan bakar dapat dikumpulkan dari sekitar rumah, dan dari kebon, sebutan dalam bahasa Sunda untuk lahan beraneka macam tanaman biasanya tumbuh tak beraturan tapi banyak ditanami tumbuhan bernilai ekonomis ataupun penghasil bahan makanan praktis, misalnya singkong. Bahan bakar mudah terbakar nomor satu adalah karari. Karari adalah daun kelapa kering. Lalu kararas, daun pisang kering. Ini penting, sebagai fire starter. Jangan kira menyalakan tungku itu mudah, membuat api itu susah jendral!. Lain-lainnya bahan bakar yaitu kulit kelapa bersabut dan pecahan batoknya, ini bagus buat bikin pepes ayam atau pepes ikan masak pelan yang saya sebut tadi. Lalu bambu-bambu kering sisa-sisa membuat keranjang atau sisa pagar. Batang-batang dari daun kelapa, yang ujung bonggol membesar namanya baladug, inipun sangat baik sebagai bahan bakar. Ayah saya bercerita sewaktu kecil tugasnya adalah mencari minimal 10 baladug sehari oleh nenek. Lalu ranting-ranting dari hasil pembersihan kebon, misalnya ranting cengkeh dan ranting-ranting sisa pembersihan pohon yang batangnya mengganggu. Papan-papan sisa bahan bangunan juga bisa digunakan, ini menghasilkan api yang bagus juga, ingat jangan lupa singkirkan pakunya. [caption id="attachment_200431" align="aligncenter" width="440" caption="Kamado. source: http://en.wikipedia.org/wiki/kamado"]

1345047853746074481
1345047853746074481
[/caption] Lain negara, lain pula namanya. Di Jepang, pada dapur tradisional mengenal tungku yang disebut Kamado. Secara literal, arti Kamado adalah 'tempat meletakkan kuali'. Modelnya mirip dengan hawu di Jawa Barat, namun lubang apinya dua, tidak satu seperti kita, dan berada di sisi yang berbeda dengan hawu tradisional Jawa Barat.  Saat ini dapur modern Jepang tentu saja tidak menggunakan lagi Kamado, hanya di rumah bersejarah atau kuil yang masih dapat dilihat adanya Kamado ini. Namun versi Kamado portabel yang bentuknya agak seperti drum, diproduksi dan dijual secara internasional, fungsinya untuk acara barbeque di luar rumah. Sebelum rice cooker diciptakan, dipercaya bahwa nasi yang paling enak itu hanya bisa dihasilkan dengan dimasak menggunakan kamado. Api harus dijaga. Pertama kecil dulu, lalu menggunakan api besar, baru kembali menggunakan api kecil. Buluh bambu untuk meniup-niup penting perannya. Mungkin yang ingat film Oshin, disana ada adegan dimana Oshin setengah mati diminta menjaga api saat memasak nasi. Bahkan memasak nasi ini agar menghasilkan nasi putih sesuai standar yang lembut dan mengembang sempurna seperti gumpalan awan, dulu bahkan ada sajak yang harus dilagukan saat menanak. Hajime choro choro, naka pappa, butsu butsu iu koro hi o hiite Yang artinya, kira-kira begini:  api kecil untuk memulai memasak nasi enak, lalu tingkatkan api agar masak, dan kecilkan api saat nasi sudah mengeluarkan gelembung-gelembung tanda tanak. Bagaimana dengan Anda? Sukakah dengan tungku masak tradisional? Source: http://en.wikipedia.org/wiki/Kamado http://web-japan.org/kidsweb/hitech/rice/rice01.html

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun