[caption id="attachment_200426" align="aligncenter" width="420" caption="Hawu. Dok Pribadi"][/caption] Menurut saya, tungku dengan bahan bakar alami, paling bisa menghasilkan aroma masakan yang khas. Bayangkan pepes ikan mas berbungkus daun pisang dengan banyak macam bumbu-bumbu rempah. Memikirkan rempah, sejenak membuat saya menerawang apa yang terjadi andaikan bangsa di dunia barat dulu  tidak mengejar-ngejar merica dan pala  yang membuat Indonesia dijajah 3,5 abad itu. Mungkin negara kita masih berbentuk kerajaan-kerajaan dan bahasa Indonesia tidak menjadi bahasa persatuan. Mungkin saya akan berbahasa Tarzan dengan teman saya yang dari Maluku. Mungkin. Nah kembali pada pepes ikan mas. Pepes ikan mas bungkus daun pisang bumbu aneka rempah ini, paling enak kalau kita benamkan pada abu panas di tungku. Masaknya pelan-pelan saja. Bisa berjam-jam, sambil kita melakukan hal-hal lain, misalnya mengepel lantai dan menanak nasi. Aromanya? Hmmm jangan tanya. Mungkin proses masak dengan pembenaman pada abu panas masak pelan ini, agak mirip dengan metode memasak ayam pengemis yang asalnya dari kota Changsu, nun jauh di China. Ayamnya diberi bumbu, dibungkus daun teratai, dibulen (dilumuri) dengan lumpur tanah liat, dan dibakar pelan. Konon, dari kebocoran lumpur yang mengeras itu ataupun setelah dibuka, wanginya bisa menempuh jarak yang jauh. Berlebaran di kampung setiap tahun yang saya kangeni adalah termasuk memasak di tungku ini. Hawu, orang Sunda menyebutnya. Dulu untuk menjaga api, baik ingin besar ataupun kecil, memakai buluh bambu, yang kita sebut Songsong. Meniup-niup api dengan songsong didepan hawu ini, paling top bila duduk di atas Jojodog, bangku atau dingklik kecil yang selalu tersedia di dapur atau pawon, dalam nama bahasa dulu. Satu set hawu, jojodog, dan songsong ini akan membuat Anda tampak seksi berada di dapur. Oke seksi mungkin kurang tepat, kita sebut saja klasik. Bentuk hawu yang saya kenal di kampung, adalah memanjang dengan dua lubang di atasnya  untuk meletakkan perangkat masak, dan lubang memanjang di sisi lain sebagai tempat pembakaran. Nah untuk bahan bakar ada tahapannya, dan ada macamnya. Bahan bakar terdiri dari bahan bakar mudah terbakar tapi cepat habis dan bahan bakar sulit terbakar namun awet nyalanya. Bahan bakar dapat dikumpulkan dari sekitar rumah, dan dari kebon, sebutan dalam bahasa Sunda untuk lahan beraneka macam tanaman biasanya tumbuh tak beraturan tapi banyak ditanami tumbuhan bernilai ekonomis ataupun penghasil bahan makanan praktis, misalnya singkong. Bahan bakar mudah terbakar nomor satu adalah karari. Karari adalah daun kelapa kering. Lalu kararas, daun pisang kering. Ini penting, sebagai fire starter. Jangan kira menyalakan tungku itu mudah, membuat api itu susah jendral!. Lain-lainnya bahan bakar yaitu kulit kelapa bersabut dan pecahan batoknya, ini bagus buat bikin pepes ayam atau pepes ikan masak pelan yang saya sebut tadi. Lalu bambu-bambu kering sisa-sisa membuat keranjang atau sisa pagar. Batang-batang dari daun kelapa, yang ujung bonggol membesar namanya baladug, inipun sangat baik sebagai bahan bakar. Ayah saya bercerita sewaktu kecil tugasnya adalah mencari minimal 10 baladug sehari oleh nenek. Lalu ranting-ranting dari hasil pembersihan kebon, misalnya ranting cengkeh dan ranting-ranting sisa pembersihan pohon yang batangnya mengganggu. Papan-papan sisa bahan bangunan juga bisa digunakan, ini menghasilkan api yang bagus juga, ingat jangan lupa singkirkan pakunya. [caption id="attachment_200431" align="aligncenter" width="440" caption="Kamado. source: http://en.wikipedia.org/wiki/kamado"]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI