Mohon tunggu...
Mira Jumyatin
Mira Jumyatin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Pendidikan Sejarah

"Jika kamu terburu-buru untuk sampai kedepan, kamu akan kehilangan banyak hal penting. -D.O."

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Makna Sumpah Pemuda 1928 Dan Dampaknya Terhadap Pembentukan Bahasa Indonesia

4 Juli 2023   09:57 Diperbarui: 4 Juli 2023   10:06 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sejarah Sumpah Pemuda

Soempah Pemoeda, yang juga disebut sebagai Sumpah Pemuda, adalah sebuah tindakan bersejarah di mana para pemuda di Indonesia menyatakan komitmen mereka untuk bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu. Dengan terbentuknya Kerapatan Pemoeda-Pemoedi atau Kongres Pemuda Indonesia Kedua, yang kini diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda, Sumpah Pemuda dibacakan pada 28 Oktober 1928. Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi yang beranggotakan para pelajar dari seluruh Indonesia, menjadi tuan rumah Kongres Pemuda II yang diselenggarakan dalam tiga sesi di tiga tempat yang berbeda. Sejumlah perwakilan dari organisasi kepemudaan, seperti Jong Java, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, dan Jong Ambon, serta para pengamat dari kalangan pemuda Tionghoa, seperti Kwee Thiam Hong, John Lauw Tjoan Hok, Oey Kay Siang, dan Tjoi Djien Kwie, hadir dalam kongres tersebut.

Pada tanggal 27 Oktober 1928, konferensi pertama diselenggarakan di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB) di Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Sugondo Djojopuspito, ketua PPPI, dalam pidatonya menyampaikan harapan agar para pemuda dapat memperluas rasa solidaritas sebagai hasil dari kongres ini. Acara dilanjutkan dengan penjelasan Moehammad Yamin tentang pentingnya persatuan dan hubungannya dengan pemuda. Beliau mengidentifikasi lima elemen - sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan - sebagai penguat persatuan negara.

Pendidikan menjadi topik bahasan dalam pertemuan kedua, yang berlangsung pada hari Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop. Poernomowoela dan Sarmidi Mangoensarkoro, dua pembicara, menyatakan bahwa anak-anak harus mendapatkan pendidikan nasional dan harus ada keseimbangan antara pendidikan di rumah dan di sekolah. Pendidikan demokrasi juga harus diberikan kepada anak-anak. Sunario membahas nilai nasionalisme dan demokrasi dalam gerakan kepanduan dalam pertemuan penutupan yang diadakan di gedung Indonesische Clubgebouw, Jalan Kramat Raya No. 106, Jakarta Pusat. Ramelan berpendapat bahwa pergerakan nasional dan gerakan kepanduan tidak dapat dipisahkan.

Lagu kebangsaan Indonesia yang diciptakan oleh W.R. Soepratman ini diperdengarkan untuk pertama kalinya pada upacara Sumpah Pemuda yang bersejarah. Lagu Indonesia Raya pertama kali dicetak pada tahun 1928 di surat kabar Sin Po, dengan tambahan kata-kata yang menekankan statusnya sebagai lagu kebangsaan Indonesia.

Memaknai Peristiwa Sumpah Pemuda

Sejarah adalah satu hal jika berhubungan dengan peristiwa sejarah yang nyata. Sementara yang terakhir adalah realitas subjektif dan dapat dibuat atau direplikasi untuk tujuan pendidikan dalam arti luas, yang pertama adalah realitas objektif dan hanya terjadi satu kali. Pernyataan ini berkaitan dengan pembahasan salah satu peristiwa bersejarah yang sangat dihargai oleh bangsa Indonesia, yaitu peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, serta arti penting peristiwa tersebut pada tahun-tahun setelah kemerdekaan Indonesia hingga saat ini.

Para pelajar SMA dan mahasiswa Jakarta yang menggelar aksi Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Mereka mengadakan sebuah pertemuan di mana mereka membicarakan dan menginginkan seperti apa Indonesia di masa depan. Untuk menyampaikan kesepakatan mereka, mereka mencetuskan Sumpah Pemuda, yang menyatakan bahwa "Kami putra dan putri Indonesia: (1) mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; (2) mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia" (Reksodipuro & Soebagijo, ed., 1974: 69). Ketika peristiwa tersebut benar-benar terjadi, tidak banyak media massa di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia yang mengulas peristiwa tersebut sebagai berita besar dan penting. Dengan kata lain, ikrar yang diucapkan oleh para pemuda ini bukanlah peristiwa sejarah yang penting pada masanya. Jauh setelah peristiwa Sumpah Pemuda terjadi pada tahun 1920-an, pada tahun 1950-an dan 1960-an, peristiwa ini baru menjadi penting dan bermakna.

Berbagai pernyataan "Sumpah Pemuda" yang diucapkan pada awal perang kemerdekaan Indonesia dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pemuda adalah pelopor dan simbol optimisme bagi masa depan bangsa. Meskipun makna dan batasan "pemuda" masih belum jelas, masa depan bangsa kita, dalam arti tertentu, berada di pundak kaum muda. Bahkan mereka yang sudah cukup berumur pun sering kali memiliki sikap dan keinginan untuk menjadi bagian dari komunitas "pemuda". Oleh karena itu, yang terjadi sebenarnya adalah "Sumpah Gue-Muda" atau "Pastikan saya masih muda" dan bukan "Sumpah Pemuda" (Suwirta, 2003).

Barulah pada tahun 1950 dan 1960, arti penting peristiwa Sumpah Pemuda 1928 menjadi nyata. Karena kebutuhan dan kepentingan di era berikutnya, arti penting dari sebuah peristiwa yang khas pada masanya telah mengalami perubahan yang signifikan. Relevansi Sumpah Pemuda 1928 terus menjadi signifikan selama era Orde Baru (1965-1998). Perlunya persatuan adalah inti dari pesan yang ingin dipertahankan oleh pemerintahan Orde Baru. Namun, jika dibandingkan misalnya dengan pembentukan Pancasila sebagai doktrin resmi, peristiwa Sumpah Pemuda tidak terlalu berguna dan relevan untuk tujuan politik Orde Baru.

Ketika kita masuk ke era Reformasi, makna Sumpah Pemuda masih belum terlalu relevan. Para mahasiswa sering menandatangani Sumpah Pemuda Jilid II pada tahun-tahun awal gerakan Reformasi di tahun 1998, berjanji untuk melawan penindasan, otoritarianisme, dan korupsi yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru (Sulistyo, 2002). Namun, disintegrasi bangsa masih menjadi masalah di Indonesia pasca-Orde Baru. Jika pentingnya persatuan Indonesia dalam hal bertanah air, berbangsa, dan berbahasa menjadi poin utama dari Sumpah Pemuda, maka makna dari peristiwa yang terjadi 77 tahun silam tersebut masih penting untuk memupuk kohesi dan solidaritas nasional. Hanya saja, instrumen politik lain yang lebih nyata, seperti pemerintahan yang demokratis, jujur, bersih, transparan, memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh anak bangsa, dan supremasi hukum, nampaknya diperlukan agar makna tersebut dapat dipahami secara benar dan adil oleh seluruh anak bangsa. Sumpah Pemuda sebagai sebuah peristiwa tidak akan ada artinya tanpa instrumen politik yang sungguh-sungguh, atau hanya akan menjadi acara seremonial tanpa substansi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun