Bulan Ramadhan menjadi bulan yang banyak dinantikan umat muslim di seluruh dunia. Bagaimana tidak? bulan ini menjadi momen dimana keluarga berkumpul dan bersenda gurau sambil menunggu waktu berbuka tiba. Lalu, bagimana dengan mereka yang merantau dan harus jauh dengan keluarga? Apakah suasana bulan Ramadhan akan tetap sama? Salah satunya mahasiswa rantau yang harus menempuh pendidikan di bangku kuliah.
Bulan Ramadhan tahun ini merupakan kali pertama saya menjadi mahasiswa rantau dan harus jauh dari keluarga. Tentunya banyak perbedaan yang saya alami, seperti saat di rumah biasanya buka puasa makan masakan ibu, kemudian makan bersama keluarga. Namun, saat di rantau harus memilih ingin memasak atau membeli makan untuk berbuka. Selain itu, yang paling dirindu yaitu saat ibu membangunkan kita untuk makan sahur. Saat merantau suara itu akan menjadi suara yang paling dirindukan. Kemudian, saat tarawih di rumah, biasanya dilakukan di masjid bersama dengan teman-teman. Namun, saat merantau harus menyesuikan diri dengan masyarakat sekitar dengan budaya-budaya baru yang sebelumnya tidak saya temukan saat di rumah. Sebagai mahasiswa rantau tentu saja bulan Ramadhan menimbulkan rasa rindu keluarga di rumah.
Ditambah lagi dengan kesibukan sebagai mahasiswa di lingkungan kampus. Perasaan rindu ingin pulang dan tugas-tugas yang harus diselesaikan menjadi hal yang setiap hari terpikirkan. Pada akhirnya di bulan Ramadhan banyak hal yang dapat saya pelajari selama jauh dari keluarga. Contohnya saat berbuka puasa sebenaranya dapat kita lakukan dimana saja, tetapi momen yang paling dirindukan adalah berbuka di rumah bersama keluarga tercinta. Mungkin hal tersebut akan terasa biasa saja bagi orang yang selalu dekat dengan keluarga, tetapi tidak dengan perantau yang jauh dari keluarga. Seperti mahasiswa yang baru pertama kali merantau dan harus jauh dari keluarga. Banyak hal yang mungkin tanpa disadari hilang selama bulan ramadhan. Banyak hal yang dirindukan selama diperantauan, misalnya saat di rumah menyiapkan menu berbuka untuk satu keluarga. Namun, saat di perantauan harus menyiapkan buka puasa untuk dirinya sendiri. Saat di rumah dapat bersenda gurau bersama keluarga, tetapi saat merantau hanya bisa melihat dan memberi kabar lewat layar handphone.
Setiap kali keluarga di rumah menelpon untuk menanyakan, bagaimana kabarmu hari ini. Hal tersebut membuat air mata ini ingin menetes, tetapi tentu saja hal tersebut harus kita tahan agar keluarga di rumah tidak khawatir. Pada akhirnya yang dapat kita lakukan adalah tetap mengatakan baik-baik saja, walaupun nyatanya keadaan saat itu tidak benar-benar baik-baik saja. Namun, setidaknya kita dapat melihat bahwa keluarga di rumah merasa tenang mengetahui kita baik-baik saja di perantauan. Saat bulan Ramadhan sebenarnya hati mengatakan ingin segera pulang dan berkumpul bersama keluarga, tetapi pikiran mengatakan jangan dulu masih ada tanggung jawab yang harus diselesaikan sebagai mahasiswa di sini. Memang seringkali hati dan pikiran mengatakan dua hal yang berbeda. Namun, tidak bisa dibohongi bahwa diri ini rindu ingin pulang.
Dengan demikian, kita dapat lebih menghargai apa yang saat ini kita miliki. Kesempatan berkumpul bersama keluargamu hari ini bisa saja merupakan impian bagi perantau yang jauh dari keluarganya. Masakan ibumu dengan menu itu-itu saja bisa jadi akan menjadi menu yang paling kamu rindukan suatu saat nanti. Suara ibumu yang bawel dan menyebalkan saat membangunkanmu sahur akan terasa berbeda saat suara itu sudah tidak kamu dengarkan lagi. Oleh karena itu, syukuri apa yang kamu miliki saat ini karena bisa saja posisimu saat ini adalah posisi yang sangat diinginkan oleh orang lain. Belajar bersyukur dengan hal-hal kecil yang saat ini kita miliki. Sebelum hal tersebut hilang karena kita terlambat untuk menghargai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H