Tahun 2020 bisa dibilang tahun yang berat bagi sebagian besar negara, tak terkecuali negara kita tercinta, Republik Indonesia. Hingga saat ini,  pandemi Covid-19 masih melanda tanah air dengan dampak besar di dalamnya. Covid-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus bernama severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Pada 11 Maret 2020 lalu, World Health Organization (WHO) telah memberitahukan status pandemi global terhadap  penyakit COVID-19.
      Pandemi ini memberikan dampak nyata pada berbagai bidang, salah satunya pada bidang pendidikan di Indonesia, yaitu ditetapkannya kebijakan metode pembelajaran melalui daring atau online yang biasanya dilakukan secara luring. Metode ini diterapkan di berbagai jenjang pendidikan termasuk perguruan tinggi.
      Pandemi Covid-19 membuat aktivitas belajar mengajar harus dilakukan secara daring. Namun, pembelajaran daring selain dinilai membuat anak-anak merasa jenuh dan stres, juga sering kali membuat anak kesulitan memahami materi pelajaran. Itu sebabnya, orang tua harus banyak terlibat dalam pembelajaran daring. Masalahnya, ada beberapa faktor yang membuat orang tua juga kesulitan saat mengajarkan anak, misalnya karena tak terbiasa mengajar atau karena beban pekerjaan yang juga membuat stres. Sehingga, ketika anak tak cepat paham dengan materi pelajaran yang disampaikan, orang tua merasa kesal dan emosi. Alhasil, selama sistem pembelajaran daring berjalan, ada beberapa kasus penganiayaan orang tua terhadap anaknya, karena anak tak kunjung memahami materi dari sekolah. (Ellyvon Pranita, Kompas.com, Akses 7 Desember 2020)
      Sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) membuat orang tua mengeluarkan waktu dan tenaga lebih untuk mendampingi anak. Momen yang tidak boleh dilewatkan ini justru bagi segelintir orang tua memicu stres dan anak pun jenuh juga frustrasi. Pembelajaran jarak jauh menjadikan orang tua memiliki peran sebagai guru yang mendidik anak di rumah, sering kali ini membuat orang tua stres karena ketidakmampuan beberapa orang tua dalam menguasai materi atau teknologi yang kian canggihnya. Selain itu, perubahan pada kondisi finansial keluarga akibat adanya Covid-19 --kesulitan mendapatkan kebutuhan pokok--, diyakini makin memperburuk tekanan psikologi pada keluarga khususnya orang tua yang terkadang melampiaskannya pada anak. Keterbatasan atau paceklik dalam aspek ekonomi yang dialami saat pandemi menuntut mereka mengeluarkan biaya lebih demi terlaksananya pembelajaran daring atau pembelajaran dari rumah. Sehingga tidak heran ketika orang tua merasa emosi ketika anak-anak mereka tidak mampu memahami materi selama PJJ di rumah.
      Stres orang tua inilah yang menjadi pemicu munculnya amarah, rendahnya tingkat kesabaran orang tua terhadap berbagai masalah yang dihadapi. Bahkan tidak jarang ada orang tua yang tidak kuasa untuk mengontrol emosionya ketika muncul masalah kecil di dalam keluarga. Namun parahnya, anaklah yang sering menjadi korban amarah orang tua. Itu terjadi karena selain anak adalah pihak terdekat, risiko untuk mendapatkan perlawanan pun kecil. Jadi, pengutaraan amarah yang berlebihan sebagai solusi pelarian masalah sering ditumpahkan orang tua kepada anaknya. Ditambah lagi, rendahnya pengetahuan akan pengasuhan yang baik tanpa kekerasan fisik dalam interaksi sosial sehari-hari antara anak dan orang tua juga dinilai sebagai faktor dari luar yang memicu munculnya tindak kekerasan yang lebih serius terhadap anak.
      Kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang Ibu (LH) terhadap anak kandungnya yang masih duduk di bangku sekolah dasar di Tangerang (26/8/2020) . (Yulina Eva Riany,Sindonews, Akses 7 Desember 2020). LH tega menganiaya anak kandungnya sendiri yang masih berusia enam tahun akibat perasaan kesal karena sang anak tidak paham akan materi selama pembelajaran daring. Ini terjadi disebabkan kurangnya kemampuan atau pengetahuan orang tua saat mendampingi sang anak selama PJJ. LH tidak segan memberikan hukuman fisik yang berakibat fatal kepada anaknya yang secara otomatis juga memengaruhi mental si anak.
Putri LH tentunya tidak sendiri, kasus yang dialaminya termasuk kasus yang terungkap lebih sedikit daripada kenyataan sebenarnya di masyarakat.
      Data menunjukkan bahwa kekerasan anak di beberapa daerah di Indonesia meningkat tajam selama pandemi. Sebagai contoh, data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Nusa Tenggara Barat (NTB) menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak di daerah ini meningkat 12% selama pandemi. Selain itu, data yang dihimpun dari sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) dari 1 Januari 2020 sampai 23 September 2020 menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak (KtA) di Indonesia sebanyak 5.697 kejadian dengan 6.315 korban. Informasi yang beredar bahkan menyebutkan mayoritas anak-anak mengalami kekerasan akibat kejengkelan orang tua mereka dalam mendampingi belajar daring di rumah. (Yulina Eva Riany, Sindonews, Akses 7 Desember 2020).
      Stres pada orang tua disebabkan oleh ekspektasi terhadap hasil belajar anak yang terlalu tinggi. Ekspektasi yang terlalu tinggi itu akhirnya membuat orang tua merasakan khawatir yang berlebih terhadap pencapaian belajar anak. Contohnya seperti, khawatir anaknya tidak naik kelas dan khawatir anaknya tidak mengerti materi pelajaran yang telah diajarkan. Bagi orang tua penting untuk menurunkan ekspektasi terhadap nilai akademik anak. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga kesehatan mental anak yang ujungnya juga akan menurunkan intensitas stres orang tua.
      Orang tua, perlu memberikan waktu yang berkualitas pada anak agar dapat bertukar pikiran, dapat melakukan sesuatu yang disenangi, dan bisa menjadi lebih semangat lagi. Selain itu, orang tua juga perlu mengatur pikiran dan emosinya jika kondisi perasaannya sedang kurang baik. Peran orang tua sangat penting dalam proses belajar si anak selama pandemi. Orang tua yang berperan sebagai pihak lebih dewasa tentunya harus lebih mampu menjadi contoh yang baik dan dapat ditiru. Orang tua juga adalah teladan bagi anak saat berada dalam masa sulit seperti ini. Oleh karena itu, disarankan orang tua harus terhindar dari rasa stres,supaya saat mendampingi sang anak belajar online dapat berjalan dengan baik dan menyenangkan.
      Sejatinya, orang tua perlu mengayomi atau membimbing anaknya baik dalam konteks belajar maupun kehidupan sehari-hari. Ini dilakukan bukan semata-mata menggugurkan kewajiban sebagai orang tua, tetapi menjadi pendukung bagi kesehatan jiwa anak juga. Anak yang dalam kondisi jenuh belajar di rumah jangan ditambah pening dengan keadaan sebenarnya, buat anak mengerti tanpa memaki. Pandemi bukan alasan untuk menyerah, belajar tetap dilakukan dari rumah. Orang tua dan anak harus tetap harmonis dan terarah. Anak pun tidak boleh runtuh semangat, jarak bukan penghambat untuk meraih cita-cita hebat. Berdikari di atas rintangan itu mudah dilakukan, selagi ada kemauan dan niat yang tertanam.