Hari ini di jejaring sosial saya membaca banyak keluhan, kritikan, umpatan tentang Caleg terpilih yang ternyata memiliki pertautan saudara dengan Gubernur, Bupati, Walikota, Menteri dan juga Presiden. Anak, istri, ponakan, paman, ipar mengisi jajaran DPRD Tingkat II sampai DPR RI. Lalu sebuah perbandingan terlontar keras dengan mengatakan bahwa di era Orde Baru tak ada anak Bupati atau istri Bupati jadi Bupati. Anak walikota jadi Walikota.
Sulit dibantah karena memang faktanya begitu. Sejauh ini belum terdata lengkap memang, seberapa besar jumlah anggota dewan yang memiliki pertautan darah dengan para Kepala Daerah atau para petinggi pemerintahan. Bila dari pemberitaan selintas saja, sudah bikin sesak nafas, apalagi jika nanti akurasi data sudah terlihat. Saya yakin akan makin mencengangkan. Bisa bikin jantungan para komentator di berbagai jejaring sosial.
Persoalannya, apa salah jika anak, cucu, keponakan, ipar, kakak dan -termasuk misalnya, kucing Kepala Daerah terpilih menjadi anggota dewan? Termasuk juga katakanlah artis yang bisa jadi tak paham belantara dewan, tiba-tiba nanti berlenggang di Senayan. Â Bukankah rakyat yang memilih?
Seharusnya tak ada kecaman pada tampilnya mereka. Bukankah sistem memang memberi ruang sanak saudara untuk terpilih. Kenapa ribut soal hasil Pileg yang sudah pasti terbuka akan begitu, karena memang sistemnya begitu? Aturannya juga begitu?
Ketika sistem, aturan main memberi ruang tampilnya sanak saudara dari Kepala Daerah, maka tak usah kaget jika kemudian, yang bercokol di dewan nanti, para sanak saudara. Jadi ketika ada ruang kompetisi pada siapapun, maka harus legawa jika juga siapapun terpilih.
Bagi saya sebenarnya yang terpenting proses berjalan jujur atau tidak, pelaksanaan kompetisi itu. Jika kompetisi, pertarungan Pileg memang jujur dan sistem serta aturan memberi ruang bebas bagi siapapun untuk bertarung, termasuk sanak famili, apa masalahnya jika yang terpilih memang "begitu."
Inilah agaknya yang perlu dikritisi; soal fair play. Â Dan tampaknya diduga aroma kecurangan itu yang mewarnai. Namun sayannya, sistem dan aturan lagi-lagi jauh dari memadai untuk menjerat ketakjujuran jika memang benar terjadi. UU Pemilu sama sekali tak memberikan sanksi berat pada pelaku kecurangan. Bahkan proses di MK yang sangat mungkin mengungkap kecurangan, tidak pernah ditindaklanjuti pidananya oleh aparat hukum terhadap para pelaku kecurangan. Jadi yang terbukti bahkan sudah menjadi amar keputusan peradilanpun terkait tindak pidana pemilu, dari pemilu ke pemilu tak pernah ditindaklanjuti. Yo wis, kecurangan akan makin parah, dari pemilu ke pemilu.
Lalu soal peran pemilih. Selama ini yang sering terlontar kritik pada anggota dewan. Padahal mereka yang bermasalah itu tak akan pernah terpilih jika pemilih tak memilihnya. Itu artinya, Caleg bermasalah tampil sebagai anggota dewan, karena masyarakat yang memilih. Bahasa kerennya kualitas anggota dewan itu merupakan cermin kualitas masyarakat pemilih. "Pemimpinmu cermin dirimu."
Di sinilah terasa penting mengkritisi masyarakat pemilih. Termasuk secara gencar mengajak masyarakat berhati-hati memilih; tidak memilih atas dasar uang. Memilih dengan cerdas dan lainnya. Jadi bukan hanya anggota dewan yang dikritisi; masyarakat juga harus dikritisi, dikawal ketat. Elite intelektual, tokoh agamawan, budayawan harus gencar mengawal masyarakat pemilih, jika berharap yang terbaik terpilih.
Soal partai memasang keluarga pengurus sebagai Caleg memang sulit dicegah. Namun bila masyarakat kritis, berani, cerdas, saya yakin, jangankan memilih, masyarakat justru akan memberikan hukuman pada partai bersangkutan.
Demokrasi itu satu hal, kesiapan masyarakat hal lain. Sebaik apapun sistem demokrasi -apalagi yang sekedar bungkus yang di dalamnya penuh aturan busuk yang memberi ruang kecurangan- mensyaratkan kesiapan masyarakat pemilih.