Mohon tunggu...
Muhammad Iqbal Awaludien
Muhammad Iqbal Awaludien Mohon Tunggu... Penulis - Penulis konten suka-suka!

Berbagi informasi dan gagasan. Tergila-gila pada sastra, bola, dan sinema. Email: iqbalawalproject@gmail.com Blog: https://penyisirkata.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Pochettino Effects: Tottenham Masuk Bursa Juara

15 Februari 2016   14:04 Diperbarui: 17 Februari 2016   10:35 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Eriksen mencetak gol kemenangan The Lilywhite atas The Citizens 2-1 di Etihad Stadium (14/02/2016)"

 

Terlepas dari semakin “tak Inggrisnya” karena tak adanya pelatih berkebangsaan Inggris yang berprestasi dan serbuan pemain asing dari seluruh penjuru dunia, Barclays Premier League (BPL) tetap menjanjikan tontonan menarik dan sangat layak dinikmati. Justru, paradoks inilah yang membuat salah satu liga terbaik dunia ini begitu menghibur. Coba bayangkan, jika BPL masih didominasi gaya bermain lama kick n rush: bola-bola panjang, satu-dua sentuhan dengan seni olah bola yang minim, dan jebreetttttt, langsung tendang ke gawang? Mungkin mata kita akan merasa jemu kemudian langsung meninggalkan pertandingan untuk berpindah ke liga lain yang lebih menghibur.

Nah, ngomong-ngomong tentang sesuatu yang menghibur, ada satu klub BPL musim 2015-2016 yang hampir luput dari perhatian. Saat mata kita semua tertuju ke Leicester City yang berhasil mengangkangi tim-tim mewah berlabel bintang, klub ini perlahan tapi pasti merangkak ke papan atas. Permainan menyerang yang atraktif, umpan-umpan pendek cepat, dan yang paling menarik: bermodal para youngster yang berhasil mengusik kemapanan para senior, klub tersebut mulai diperhitungkan di bursa juara.

Ya, Tottenham Hotspur! Klub kebanggaan warga London Utara ini berhasil merangsek ke urutan kedua BPL pekan 26 setelah mengandaskan Manchester City 2-1 di kandang.  Kemenangan klub yang bermarkas di White Hart Lane itu terbilang mengesankan, sebab, membuka asa para supporter yang merindukan gelar selama lebih dari setengah abad (Tottenham terakhir menjuarai liga pada tahun 1960-1961) dan pencapaian terbaik dari klub – sejak era Premier League bergulir—yang selalu dianggap medioker.

 

"Tontenham Hotspur saat mengawinkan gelar juara liga dan FA tahun 1960-61"

Pochettino Effects

Guardiola, Mourinho, Ancelotti, dan Alex Ferguson adalah sederet pelatih yang mempersembahkan banyak gelar bagi klub di bawah kepemimpinannya. Karena itu, tak bisa dimungkiri kalau mereka merupakan pelatin terbaik dalam sejarah sepakbola dunia.  Itu mutlak. Akan tetapi, coba bayangkan, apakah mereka akan sesukses itu saat melatih sebuah klub, yang bukan langganan juara dan tak memiliki kekuatan finansial besar untuk membeli pemain bintang? Jawabannya: belum tentu!

Bersykurlah, di era sepakbola (post) modern ini masih menyisakan juru taktik yang tak melulu bergantung ke kekuatan finansial, bahkan meyakini bahwa kebintangan bukan satu-satunya kunci membawa sebuah klub menjadi kampiun. Tapi seorang “manager” yang mampu mengganggu dominasi, meruntuhkan kemapanan, dan menyajikan entertainment kelas atas di tengah permainan sepakbola yang semakin mudah diprediksi. Nama-nama semacam  Rene Girard (berhasil membawa Montpellier juara Ligue 1 untuk pertama kalinya), Jurgen Klopp (mengembalikan kejayaan Borussia Dortmund di tengah dominasi Bayern Munich) ataupun Diego Simeone (merusak dominasi juara La Liga yang seakan hanya milik Real Madrid dan Barcelona), hingga Rudi Garcia yang gemilang bersama Lille, mungkin pantas diberikan predikat demikian itu.

Dalam konteks BPL musim 2015-2016, dua nama yang bisa memenuhi kriteria di atas muncul. Siapa lagi, kalau bukan Claudio Ranieri (Leicester City) dan Mauricio Pochettino (Tottenham Hotspur). Nama yang pertama lebih senior karena telah lama malang melintang sebagai pelatih di jagat sepakbola, sedangkan yang kedua, lebih junior -- baru terjun menjadi pelatih sekitar 7 tahun yang lalu (2009).Namun nama yang kedua terkesan lebih menjanjikan. Pasalnya, selain rentang usia yang masih muda (43 tahun), filosofi kepelatihannya pun terbukti bekerja lebih efisien dan berpotensi berdampak jangka panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun