Perasaan inferior bisa menimpa siapa saja, tak terkecuali sebuah bangsa. Dalam konteks Indonesia, perasaan ini benar-benar terjadi, mungkin di taraf tertentu dialami sebagian besar masyarakat.
Mungkin pembaca sekalian bertanya-tanya, contoh riil-nya apa?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita flashback dulu sejenak ke fakta historis Indonesia, yang sedikit banyak memengaruhi lestari dan terus hidupnya perasaan inferior tersebut.
Indonesia adalah negara yang bisa dikatakan tak kurang apapun juga. Sumber alam yang melimpah, kekayaan bahari dari Sabang sampai Merauke, dengan keberagaman budaya dan kreativitas masyarakat yang bisa ditemukan di seluruh pelosok negeri, ada di sini, di Indonesia.
Namun, semua itu terganggu oleh apa yang disebut dengan kolonialisme Barat. Kolonialisme mengoyak seluruh kemapanan yang telah ada dan dicipta nenek moyang kita, menggantinya dengan nilai-nilai dan parameter Barat, sehingga apa yang tidak sesuai dan berbeda dengan mereka (bangsa Barat) dianggap barbar dan kurang bernilai.
Selain itu, Indonesia pun pernah mengalami penjajahan di bawah kekuasaan Jepang selama kurang lebih 3 tahun dan baru merdeka tanggal 17 Agustus 1945.
Penjajahan yang dialami Indonesia itu, menimbulkan paradoks. Di sisi lain, Indonesia menjadi kaya akan persilangan budaya serta terjadinya pertukaran pengetahuan. Sebagai contoh, cakrawala masyarakat Indonesia menjadi lebih luas karena bisa mengakses pengetahuan, budaya dan teknologi yang dibawa bangsa Barat ataupun bangsa Timur lainnya. Yang kemudian melahirkan intelektual-intektual macam Sukarno, Hatta, Sjahrir, Coroaminoto dan lain-lain sebagai tokoh penggerak kemerdekaan.
Dan yang kedua, ini yang paling fatal, bayangan terhadap kebijakan penjajah yang bersifat diskriminatif, rasis dan tidak adil masih meningggalkan jejak hingga kini. Gawatnya, jejak ini menjadi mentalitas dominan yang menumbuhkan rasa kurang percaya diri dan inferioritas. Kita seakan tak bisa lepas dari bayang-bayang itu, semacam sesuatu yang laten, bergerak di alam bawah sadar masyarakat kita
Nah, sekarang saatnya menjawab pertanyaan di atas, “Apa contoh riil dari perasaan inferioritas masyarakat Indonesia?”
Jawabannya, yaitu kebanyakan dari kita memandang apa yang berasal dari luar itu selalu lebih “wah” dibanding yang berasal dari negeri sendiri, baik itu yang berasal dari Barat, bahkan mungkin apapun yang berasal dari luar Indonesia.
Kita ambil contoh kecil, saat ditanya “Liburan dari mana?” Mungkin kita akan lebih bangga menjawab sambil sedikit membusungkan dada, “Dari Thailand di Pataya, Maladewa, atau Singapura,” Padahal, apa memang benar Pattaya dan Phuket itu lebih indah dibanding Raja Ampat dan Kuta? Juga Maladewa jauh lebih eksotis dibanding Pantai Ora dan Gili Trawangan? Ataupun barang-barang dari Singapura itu juga dijamin lebih bagus, dibanding barang-barang yang berasal dari Tanah Abang atau distro-distro di Bandung sana?