“Bleng….!” Tiba-tiba saja terjadi ketika berada di atas panggung. Padahal, teks presentasi telah dipersiapkan, rangkuman telah ditulis, bahkan lengkap dengan alur penjelasan: tentang apa-apa saja yang akan dipresentasikan, kapan membuat kejutan, menyisipkan humor, sampai menentukan ending pun tak luput dari perencanaan.
Namun apa daya semua jadi berantakan. Ya, akibat “bleng” itu. Bukan keterpikatan audiens yang didapatkan, tapi justru tatapan yang menuntut, bertanya-tanya, kecewa atau mungkin juga mereka bingung dan kasihan, ketika menyaksikan wajah kita yang basah oleh keringat dengan mulut yang tergagap.
Keadaan seperti diilustrasikan di atas, munurut Budiman Hakim dalam buku karyanya yang berjudul Pengen Jago Presentasi bisa menimpa siapa saja dan dari latar belakang apa pun, baik itu pemula maupun para profesional seperti master of ceremony, presenter, entertainer bahkan motivator sekaliber Mario Teguh atau Tung Desem Waringin.
Setidaknya ada dua penyebab yang bisa memunculkan kondisi “bleng”. Pertama, ketidakpercayaan diri, dan kedua, ketidak-akraban seseorang terhadap presentasi. Kedua penyebab ini memiliki kausalitas, bahwa ketidakpercayaan diri bisa menyebabkan presentasi seseorang berantakan, sedangkan ketidak-akraban atau tidak familiarnya banyak orang terhadap presentasi akan memunculkan rasa tidak percaya diri.
Oleh sebab itu, supaya “bleng" tidak berlanjut apalagi menjadi sebuah habit, penulis merumuskan satu formula penting, yaitu “Jadikan presentasi sebagai teman, yang setiap detik senantiasa ada dan bagian dari aktivitas keseharian!”
Mungkin agak terdengar berlebihan, tetapi memang sudah semestinya seperti ini. Karena pada hakikatnya, setiap saat dalam hidup, tanpa disadari kita selalu melakukan presentasi. Sebagai contoh, saat melakukan pendekatan kepada seseorang, pastilah kita akan berbicara tentang kebaikan kita, tentang betapa cocoknya kita untuk dia, dan meyakinkannya bahwa kita adalah pasangan yang paling tepat dibandingkan yang lain.
Kemudian, di dalam kondisi yang lain, seperti meyakinkan teman yang ragu dan meminta nasihat mengenai di mana tempat belanja yang bagus, apa-apa saja kuliner-kuliner terlezat, gadget paling hip saat ini sampai recommended movie terbaru. Biasanya, dengan segenap upaya, kita akan berupaya meyakinkannya disertai beberapa referensi pendukung berupa pengalaman ataupun pengetahuan yang dimiliki, bahwa “Di sini lho tempatnya, kuliner anu dan film yang itu … tu yakin” yang paling cocok untuknya. Dengan kata lain, dalam konteks ini presentasi merupakan aktivitas untuk meyakinkan seseorang untuk meyakini apa yang kita yakini (hlm. 5), dan itu biasanya selalu kita lakukan setiap hari. Benar ’kan?
Kesimpulannya, bawalah sikap “santai” saat presentasi seakan kita sedang berbicara kepada teman-teman dan kolega-kolega terdekat, dan juga buatlah diri kita menjadi solusi terbaik bagi para audiens karena sebenarnya mereka merupakan orang-orang yang butuh diyakinkan (hlm. 70).
Menaklukkan Klien Dengan Presentasi
Penulis buku ini, berlatar belakang sebagai praktisi periklanan. Tidak mengherankan jika konten buku sebagian besar berbicara tentang bagaimana kiat-kiat presentasi dalam dunia, yang bagi banyak orang mungkin agak asing. Namun, justru “keagak-asingan” itulah yang menjadikan buku ini menarik, sebab, kita dapat mengetahui gambaran besar tentang proses panjang, berupa kisah suka-duka atau perjuangan para creative, copy writer, account director sampai art director di balik terciptanya iklan yang begitu akrab dan sering kita saksikan di televisi serta internet.
Ambilah contoh saat pitching. Tahap ini bisa dikatakan sebagai hidup-matinya perusahaan sebab kalau klien gagal dibuat terkesan oleh “campaign strategy” dan materi iklan yang telah dibuat, berarti klien akan memilih agency yang lain. Jika klien pergi, itu berarti hilanglah juga rezeki yang sudah ada di depan mata. Maka dari itu, untuk menaklukkan klien di tahap yang dikenal juga sebagai tender tersebut, presentasi yang memukau dan keren mutlak diperlukan (hlm. 143-146).