Mohon tunggu...
Muhammad Iqbal Awaludien
Muhammad Iqbal Awaludien Mohon Tunggu... Penulis - Penulis konten suka-suka!

Berbagi informasi dan gagasan. Tergila-gila pada sastra, bola, dan sinema. Email: iqbalawalproject@gmail.com Blog: https://penyisirkata.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Asgar", Sisi Lain Garut Selain Dodol dan Domba Adu

22 Oktober 2019   16:01 Diperbarui: 23 Oktober 2019   14:59 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Abah Atrox" Sumber Gambar: Vice.com

Buat saya Garut bukan sekadar dodol. Bukan pula terkait ajang seni domba aduan berhadiah ratusan juta, apalagi kota illuminati seperti dikatakan Ahmad Samantho yang bikin heboh itu. Buat saya, Garut adalah "Asgar"

Terdengar familiar?

Ya, Asgar, akronim dari "Asli Garut" adalah perkara merapikan rambut. Sebuah tempat yang dilengkapi beberapa tempat duduk, dengan kaca berukuran besar, serakan alat cukur, dan senyum ramah si akang yang selalu siap diajak ngobrol apa saja. Sesederhana itu, tapi sangat berkesan.

Meski saya belum pernah mengeksplorasi kota yang pada zaman dulu dikenal dengan "Swiss van Java" ini, tetapi karena Asgar, membuat Garut serasa dekat. Di Sukabumi, tempat saya lahir, tumbuh, dan menetap hingga kini, tidak sulit menemukan pangkas rambut berlabel Asgar.

Coba search di mesin pencarian dengan kata kunci "Pangkas Rambut Asgar Sukabumi," tak kurang dari 12 pangkas rambut yang menggunakan akronim tersebut ditemukan. Jumlahnya bisa lebih banyak lagi, mengingat, tidak semua hal ada di Google, seperti pangkas rambut langganan saya yang berlokasi di Jalan Pasar Ikan Cibaraja dan jalan Cisaat, Kabupaten Sukabumi.

Jarak Sukabumi-Garut sendiri, terentang sekitar 160 km. Antara Garut dan Sukabumi, terhalang Sumedang, Bandung, dan Cianjur dengan jalan yang tak mulus dan berekelok-kelok seperti cinta kita, ahelah. Dan ini yang menarik, yaitu terkait bagaimana pangkas rambut Asgar menyebar ke berbagai daerah dan bagaimana pula urang Garut bisa mewarisi keahlian memotong rambut.

Secara historis, dengan cukup gamblang Tirto.id pernah mengulas bahwa persebaran pemangkas rambut Asgar tidak dapat dilepaskan dari Peristiwa DI/TII. Masa goromolan, begitu banyak orang Sunda menyebut periode tersebut mendorong banyak orang Garut merantau untuk mencari penghidupan baru dan tempat yang lebih aman. Bandung, menurut Martin van Bruinessen dalam Rakyat Kecil, Islam, dan Politik (2013), seperti dikutip Tirto menjadi tujuan utama warga Garut pada awalnya.

"Kota ini menerima arus masuk pendatang dalam jumlah besar pada awal tahun 1950-an, akibat pemberontakan Darul Islam (DI) [...] Tindakan balasan kedua belah pihak terhadap orang-orang desa yang dicurigai, membuat desa menjadi tidak aman [...] Jumlah pengungsi yang datang ke Bandung pada tahun-tahun itu dapat dipastikan mencapai sekitar seratus ribu jiwa."

Keahlian ini lantas berkembang di tempat perantauan dengan didasari semangat primordial yang bersandar pada kekerabatan, rasa kedaerahan, kesukuan, dan paham keagamaan. Pada kasus regenerasi tukang cukur Asgar, pola dominan yang terlihat adalah pewarisan keahlian di antara keluarga dan sahabat.

Kisah dari Ali Rahman misalnya. Salah satu sesepuh Persaudaraan Pangkas Rambut Garut (PPRG) ini mengaku bahwa profesinya sebagai pemangkas rambut tidak bisa terlepas dari latar belakang Idi, kakek buyutnya yang merupakan pemangkas rambut bagi orang-orang Belanda. Secara turun temurun, keahlian tersebut diwariskan dalam keluarga, ayah, paman, sampai pada dirinya.

"Tapi karena anggota keluarga semakin banyak dan tersebar di berbagai daerah di sekitar Garut, keahlian itu akhirnya menyebar," Ujar Ali seperti dilansir Tempo.co.

Begitu pula dengan Achmad Tossin, putra Muhammad Ero Saefulloh, asal Kampung Peuteuy, Garut, pemilik pangkas rambut Sawargi, Bandung. Ia mengisahkan bahwa orangtuanya telah menjadi pemangkas rambut sejak akhir masa pendudukan Jepang di Indonesia dan mendapat skill memangkas rambut, ya, dari ayahnya sebagai mandat untuk meneruskan usaha keluarga (Koran Tempo).

Tulisan Soelastri Soekirno berjudul "Cerita Para 'Asgar' Merawat Tradisi Tukang Cukur Garut" memberikan gambaran yang cukup komprehensif terkait bagaimana upaya urang Garut melestarikan keahlian memangkas rambut di era modern.

Di tengah persaingan yang kian ketat, Abah Atrox, berinisiatif mendirikan sekolah cukur di Kampung Peundeuy, Desa Banyuresmi, Kecamatan Banyuresmi yang dikenal sebagai produsen maestro tukang cukur Indonesia sejak 2016.

Pria paruh baya bernama asli Rizal Fadillah itu, mengaku tujuan utama mendirikan sekolah tersebut tak lain, demi mengangkat harkat derajat profesi tukang cukur agar tidak dipandang sebelah mata.  Maklum, dekade 90-an dan 2000-an, profesi pemangkas rambut masih dianggap remeh. Karena jangankan punya tempat permanen yang menetap, dulu tukang cukur adalah profesi yang kental dengan plesetan "DPR" alias di "bawah pohon rindang." Ungkapan bernada olok-olok buat pemangkas rambut keliling.

"Abah Atrox" Sumber Gambar: Vice.com
"Abah Atrox" Sumber Gambar: Vice.com
Karena itu, untuk mengubah stigma ini, Barber School Abah Atrox memberi kurikulum berupa pelatihan skill dasar, mempelajari tren rambut terbaru, mengenal alat-alat potong, sampai teknik memijat. Bahkan, yang tak boleh dilupakan, menurut Ada Syuhada, salah satu pengajar di sana, adalah pelajaran etika.

"Menjadi tukang cukur itu tak hanya pintar mencukur, tapi juga harus punya sopan santun. Tidak boleh pakai baju sembarangan, harus bersih dan rapi. Harus sabar, terutama menghadapi tamu yang tidak puas dengan pekerjaan kita," paparnya seperti dilansir Kompas.com.

Karena itu, meski di kampung Peundeuy rata-rata anak-anak kecilnya jago memangkas rambut, belum tentu mereka bisa langsung terjun ke lapangan dan jadi profesional. Mereka masih perlu dilatih dari sisi etika, tambah Ada yang sudah menjalani profesinya sejak 1965.

Sumber gambar: Viva.co.id
Sumber gambar: Viva.co.id

"Skill saja belum cukup, butuh etika untuk jadi pemangkas rambut profesional" 

Asgar Sebagai Branding Alternatif? 

Identitas kota sangat penting bagi ekonomi secara umum, dan pariwisata secara khusus. Julia Winfield Pfefferkorn (2005) dalam studinya The Branding of Cities, menyebutkan bahwa keberhasilan kota-kota dunia seperti New York, Paris, Rotterdam, dan San Francisco dalam menjual kotanya disebabkan karena mereka memiliki keunikan dalam sebuah fungsi kehidupan kota, seperti sejarah, kualitas ruang (termasuk infrastruktur), gaya hidup, dan budaya, dengan landasan program kerja sama yang mantap antar masyarakat dan pemerintah kotanya.

Dalam konteks ini, tak ada ruginya para stake holder dan pemangku kebijakan di Garut mencontoh langkah kota-kota dunia tersebut untuk lebih meningkatkan branding Garut dengan cara mononjolkan satu aspek baru, tanpa mendiskreditkan aspek yang telah lama mapan. Di sini aspek baru tersebut tentu saja "keasgaran" Garut sebagai sebuah tradisi yang bertransformasi menjadi salah satu simbol ekonomi warga Garut. 

Singkatnya, Garut yang selama ini dikenal dengan julukan "Kota Dodol, Kota Intan, Kota Gurilaps, dan Kota Domba", secara branding diperkaya lagi dengan tambahan "Kota Barbershop" atau "Kota Asgar" misalnya. Caranya, bisa dengan penyebaran message untuk membentuk awareness dengan menggunakan pendekatan kekinian, yaitu mengoptimalkan copywriting untuk membuat tagline nyeleneh seperti "Asgar Bukan Milik Thor Tapi Garut", "Ditinggal Thor, Sebagian Warga Asgar Pindah ke Garut ", "Asgar  di Garut Makin Ramai Setelah Thor Tak Ada", "Tiada Asgar Rambutmu Takkan Rapi", dan sebagainya.

Di era media sosial, semua ini sangat mungkin dilakukan apalagi oleh anak-anak muda Garut secara umum dan Asgar secara khusus yang peduli dengan kemajuan daerahnya. Bayangkan, betapa akan berdayanya wisata di daerah tempat lahirnya tokoh intelektual perempuan pertama, RA Lasminingrat, ini apabila terjadi kolaborasi antara generasi muda dan pemerintah. Anak-anak muda menyebarkan message di media sosial secara massif untuk branding, beriringan dengan itu pemerintah juga giat membangun fasilitas untuk membangun desa wisata, museum, bahkan Institut Pangkas Rambut Asgar. Bukan hal yang tidak mungkin, bukan? 

Ah, sudah ya berbusa-busanya. Saya sampai lupa kalau rambut saya yang ikal agak-agak mirip Bruno Mars ini perlu dirapihin oleh layanan plus-plus Asgar: Pijat kepala dengan gerakan terakhir "mematahkan" leher yang agak horor tapi enak banget itu. Hehehe. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun